Lihat ke Halaman Asli

Jangan Ikut Bimbel!

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Yang muda yang memimpin, yang muda yang berbicara."
Slogan boleh berkata begitu. Tetapi saya, sebagai orang yang boleh dikata muda, selama ini hanya mampir melihat-lihat postingan-postingan yang asyik di Kompasiana.

Dan kini saya mencoba untuk gantian memberikan sesuatu, setelah sekian lama saya hanya berani melongok.

***

Sebagai seorang siswa SMA Negeri, bisa ditebak, kehidupan saya hanya berputar di sekitar keluarga, teman, dan sekolah. Tapi, tak sedikit hal menarik yang saya alami. Seperti kata-kata guru saya yang satu ini. Patut disimak, dan menghilangkan kantuk (yang membuat saya ingin tidur) di tengah siang bolong itu.

"Anak-anak, bapak harap kalian semua jangan ikut bimbel (bimbingan belajar)."

Nada-nada protes dan bingung menyeruak di tengah kelas yang asalnya hening. Kata orang Sunda, kawas goong katincak. Banyak pertanyaan yang menguar di udara, desas-desus, hingga gossip miring. Salah satu teman saya bahkan bilang, "Si Bapak ingin kita les di sekolah saja mungkin. Biar dapat tambahan duit."

Dan guru yang satu itu seolah menikmati aroma-aroma kebingungan di kelas. Setelah sedikit mereda, beliau pun menjelaskan semuanya. Jelas, hingga tak ada satupun dari kami membantah.

Menurut beliau, bimbel itu yang meningkatkan persen mahasiswa drop out dari tahun ke tahun. Bimbel menawarkan proses cepat, rumus singkat, yang mengubah pola pikir siswa menjadi instan. Menjadi hal yang sangat mungkin seorang siswa lolos Ujian Nasional dan Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri dengan mudah, walaupun taraf kemampuan yang sebenarnya tidak memadai.

Terhenyak di tempat duduk masing-masing, aku dan teman-temanku masih mendengarkan beliau dengan serius. Ada hal lain yang belum kami ketahui, rupanya.

Dengan air muka tenang, beliau melanjutkan. Masih menurut beliau, bimbel itu memanfaatkan kepanikan yang menelisip pelan-pelan di benak orang tua dan siswa. Sadarkah kita bahwa kita sudah dirasuki roh paham: "Tak ikut bimbel=kegagalan!" Ketakpercayaandiri berkembang di nurani generasi calon pemimpin kita. Diburu, merasa tak aman, walau kemampuannya memadai, tak sedikit anak yang boleh dikata pintar, ikut bimbel juga. Sementara permintaan makin meningkat, harga pun makin menjulang. Belasan juta dikeluarkan orang tua hanya untuk mendapat jaminan anaknya diterima di perguruan tinggi favorit. Padahal, yang didapat si anak tak lebih dari sebuah cara instan yang merusak logika proses berpikirnya.

Yang lebih parah lagi, kata beliau, kalau paradigma masyarakat berubah, bergeser, ke arah yang berbahaya, yaitu: "Pengajaran di bimbel lebih baik daripada di sekolah." Seperti yang kita ketahui, sekolah merupakan instrumen utama pendidikan di negeri kita. Kalau sudah bergeser begini, lalu bagaimana? Seorang anak bersekolah hanya untuk mendapatkan skor tertinggi di kertas tanda kelulusan? Hanya agar logika prosesnya dibudaki oleh cara cepat nan instan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline