Lihat ke Halaman Asli

Tita Mayang Sari

I've a bachelor of law from Bengkulu University and i'm currently a student in the master's program at Diponegoro University with a concentration in economics and business law

Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Berdasarkan Asas Vicarious Liability

Diperbarui: 26 September 2024   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tita's Galleries

Laman greenpeace menuliskan bahwa, isu lingkungan yang menjadi perhatian generasi muda diantaranya isu pengelolaan sampah rumah tangga (80%), cuaca ekstrem akibat krisis iklim (79%), pengelolaan limbah industri (78%) dan polusi udara (76%) (Indonesia, 2024). Kerusakan lingkungan dewasa ini sudah mencapai tingkat yang membahayakan kehidupan manusia dan makhluk lain yang hidup di bumi. Isu mengenai dampak kerusakan lingkungan yang sering kali kita dengar yaitu Pemanasan Global atau dikenal juga dengan istilah “Global Warming”. Isu ini menjadi pembahasan yang mendunia karena dampaknya bukan hanya dirasakan di daerah tertentu tapi secara menyeluruh di seluruh penjuru bumi. Hal yang kini telah menjadi kecemasan bagi seluruh manusia. Pemanasan global menyebabkan tidak menentunya musim, cuaca ekstream dan bencana alam.

Sumber daya alam di Indonesia tersedia cukup banyak dan dapat di manfaatkan dalam kegiatan pembangunan. Dalam keadaan seperti itu, sumber daya alam mengalami penurunan kualitas sehingga berpotensi terjadinya pencemaran dan perusakan pada lingkungan yang pada akhirnya menjadi beban sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem pengelolaan lingkungan di berbagai bidang yang sesuai dengan asas-asas dalam hukum lingkungan di Indonesia (Ni Nyoman Arif Tri Noviyanti, 2019). Meningkatnya jumlah korporsi sebagai dampak global menciptakan suatu perhatian khusus terhadap dampak lingkungan hidup. Hampir disetiap bidang usaha, baik di bidang pertambangan, perdagangan, industri, pemanfaatan sumber daya alam dan lain-lain, berpotensi menimbulkan pencemaran dan kerusakan pada lingkungan. Hal ini, merupakan realita bahwa korporasi semakin memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang perekonomian. Peranan dunia swasta dalam pertumbuhannya lebih

memberikan peranan kepada korporasi. Banyak perhatian yang telah diberikan kepada korporasi yang melalaikan peran dan fungsi lingkungan sebagaimana mestinya.

Korporasi seringkali tidak memperhatikan keadaan lingkungan sekitar dalam produksi dan usahanya sehingga mengakibatkan pencemaran yang sangat besar baik dari kuantitas maupun kualitas pencemarannya. Pencemaran yang dihasilkan dari proses produksi korporasi biasanya jauh lebih besar bila dibandingkan produksi manusia perseorangan. Sehingga Korporasi acapkali menjadi subjek dalam tindak pidana lingkungan hidup.

Pertanggungjawaban korporasi dapat dilihat dari berbagai asas, salah satunya asas vicarious liability. Vicarious responsibility didasarkan pada prinsip “employment principle”, yang dimaksud dengan prinsip employment principle dalam hal ini majikan (employment) adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para buruhnya atau karyawannya. Jadi dalam hal ini terlihat prinsip "thecservant's act is the master act inlaw" atau yang dikenal juga dengan prinsip agency principle yang berbunyi " the company is liable for the wrongful acts of all its employes". Prinsip Vicarious responsibility memungkinkan perusahaan untuk dihukum oleh karena kejahatan dengan kesalahan actus reus (atas tampilan tindakan yang dilarang hukum) dan mens rea (niat kriminal) dari seorang individu untuk korporasi. Pertanggungjawaban korporasi adalah berasal dari kesalahan Karyawan mereka, pejabat atau agen (Manullang, 2020).

Pengaturan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Pentingnya pertanggungjawaban pidana korporasi dapat merujuk kepada pendapat Elliot dan Quinn. Pertama, tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang merupakan kesalahan perusahaan. Kedua, dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut perusahaan daripada para pegawainya. Ketiga, dalam hal tindak pidana serius, sebuah perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai tersebut. Keempat, ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk mengawasi kegiatankegiatan perusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya. Kelima, apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal, seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja.  Keenam, pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung, agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang ilegal. Ketujuh, publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan ilegal, dimana hal itu tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah pegawainya (Mardiya, 2018).

Korporasi dalam hukum pidana, Sutan Remi Sjahdeini mengemukakan: Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroran terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan komanditer atau CV dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum (Abdul Roup, Muridah Isnawati, 2017). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau disingkat UUPPLH menjelaskan terkait pengertian korporasi pada Pasal 1 angka 32 bahwa korporasi adalah “orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”.

Memperhatikan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH) yang menetapkan bahwa kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 116 UU PPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup (Mardiya, 2018). Selanjutnya pada ketentuan Pasal 118 UU PPLH ditegaskan bila tindak pidana lingkungan oleh badan hukum maka sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.

Pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan merupakan aspek penting dalam hukum lingkungan yang bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berfokus pada pencegahan, penanggulangan, dan penegakan hukum terhadap tindak pidana lingkungan.

Pertanggungjawaban Korporasi Berdasarkan Asas Vicarious Liability

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline