https://images.app.goo.gl/1R4eF1riWeiyBjMA6
Yogyakarta -- Bayangkan ada sekelompok manusia yang tiba-tiba datang ke rumahmu lalu ujug-ujug tanpa permisi atau apa, mereka menyewakan rumahmu beserta isinya kepada orang lain tanpa persetujuan orang lain. Sangat menyebalkan, bukan? Terdengar sangat tidak manusiawi, bukan? Itulah yang saat ini dirasakan oleh warga Rempang, Kepulauan Riau.
Masyarakat Rempang telah mendiami pulau yang secara administratif masuk pemekaran kota Batam ini sejak lama. Jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum ide tentang Negara Republik Indonesia itu lahir dan muncul dari benak, mulut, dan jemari Tan Malaka. Sejak awal abad 19, sekitar tahun 1834, warga Rempang sudah tinggal di tempat yang sama seperti yang ditempati mereka hari ini. Berturun-temurun anak cucu terus mewarisi tanah leluhur ini.
Ironisnya, mereka justru digusur oleh rezim pemerintahannya sendiri. Oleh orang-orang yang telah mereka percayai bisa memegang amanah demi membawa bangsa dan negara ini ke nasib yang lebih baik dan sejahtera. Para petinggi negeri ini justru berpisah kepada pihak asing. Menjilat receh demi receh dari ketek konglomerat Cina dan mempersilakan berbuat sesuka hati dengan Pulau Rempang.
Yang menarik di sini adalah bagaimana ragam bahasa politis yang digunakan oleh para pemangku kebijakan kala berkelit begitu ditodong mengakui kekejiannya. Warga Rempang dicap pemberontak dan dianggap anti-pembangunan tanpa mengkonfirmasi terlebih dahulu pandangan pribadi mereka. Faktanya, warga Rempang tidak menolak adanya pembangunan. Mereka hanya tidak sampai akal jika pemerintah tega melakukan cara-cara tidak manusiawi dalam mewujudkan nafsu pembangunan, alih-alih dengan dialog dan musyawarah yang lebih dialektis.
Ini semakin menunjukkan pemerintah tidak punya hati. Bisa-bisanya bersikap sedemikian kejamnya dengan rakyatnya sendiri. Semata-mata demi mengejar cuan saja. Sampai hati melihat anak-anak berlarian kelabakan keluar dari kelasnya karena para tentara bermain senapan dan mesin-mesin raksasa siap merobohkan sekolah-sekolah yang tak menguntungkan pemerintah secara profit tersebut.
Melawan perampasan tanah yang semena-mena yang dilakukan pemerintah dengan cara-cara yang memaksa dan tidak manusiawi adalah wajib karena hal tersebut melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, keadilan sosial, dan prinsip-prinsip etika yang mendasari tata kelola yang baik. Perampasan tanah yang semena-mena di Rempang melibatkan pemaksaan, pelanggaran hak asasi manusia, dan penindasan terhadap individu dan masyarakat lokal yang tinggal di pulau tersebut. Setiap orang berhak untuk hidup dengan martabat dan hak-haknya harus dihormati. Melawan perampasan ini adalah perjuangan untuk mencapai keadilan sosial dan ekonomi.
Penggusuran tanah untuk proyek-proyek besar, seperti pembangunan infrastruktur yang tidak berkelanjutan, dapat merusak ekosistem alam dan sumber daya alam. Aksi perampasan tanah yang dilakukan secara memaksa dapat mengakibatkan pengungsi dan kerusakan sosial. Ini dapat memicu masalah seperti kemiskinan, kehilangan mata pencaharian, dan konflik sosial. Padahal, sudah jelas ada prinsip-prinsip etika dan hukum yang mendukung hak individu dan komunitas atas kepemilikan dan pengendalian tanah mereka. Perampasan tanah yang tidak sah melanggar prinsip-prinsip ini.
Melawan perampasan tanah di Rempang juga berarti memperjuangkan proses keputusan yang demokratis dan partisipasi masyarakat dalam penentuan nasib mereka sendiri, terutama ketika proyek-proyek besar berdampak pada masyarakat yang terkena dampak. Aksi melawan ini dapat melibatkan berbagai tindakan seperti advokasi, protes damai, kampanye informasi, dan upaya hukum. Hal ini dapat membantu masyarakat melindungi hak warga Rempang mendapatkan rumahnya kembali, meminta pertanggungjawaban dari pemerintah, dan mempromosikan tata kelola yang lebih adil dan berkelanjutan. Dalam banyak kasus, melibatkan masyarakat lokal, organisasi nirlaba, dan komunitas internasional dapat memberikan dukungan dalam perjuangan untuk melawan perampasan tanah yang tidak sah.
Apa yang terjadi di Rempang saat ini, bisa saja terjadi dengan kita kapan saja. Barangkali kita hanya menunggu waktu untuk bernasib sama malangnya. Maka dari itu, mari suarakan keadilan bagi saudara-saudara kita di Rempang selantang mungkin!