Lihat ke Halaman Asli

Dasi sebagai Konstruksi Identitas Rapi dan Berwibawa

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fashion tidak dapat di pisahkan dengan kebudayaan manusia. Betapa tidak seiring dengan perkembangan peradaban serta pemikiran manusia, maka fashion pun ikut berkembang menjadi sebuah industri kreatif dimana setiap ragam yang di wujudkan adalah ekspresi identitas ke-aku-an, setiap individu dapat menonjolkan apa yang di sebut sebagai "ego" atau sifat-sifat narsis yang disadari atau tidak, ada pada diri setiap manusia dengan kadar yang berbeda-beda. Fashion dapat menjadi sebuah komoditas untuk memberikan nilai tambah atas seseorang. Seseorang yang pada awalnya biasa saja dapat menjadi terlihat luar biasa tatkala menggunakan produk fashion yang sesuai dengan ciri fisik dan kepribadiannya. Fashion juga menunjukkan sebuah stratifikasi sosial, dimana simbol-simbol tertentu atau nilai produk tertentu, mewakili status sosial seseorang di bandingkan dengan yang lainnya.

Dasi merupakan salah satu produk fashion yang sudah erat dengan kehidupan kita sehari-hari, dimulai dari anak sekolah, hingga para pekerja kantor atau sales marketing biasanya menggunakan dasi didalam keseharian mereka. Dasi pada perkembangannya menjadi penciri status sosial tertentu di masyarakat, terutama berkaitan dengan paradigma yang selama ini melekat di dalam pemikiran masyarakat Indonesia bahwa hanya kaum-kaum tertentu seperti pengusaha sukses, pekerja kantor dan kelas pejabat sebagai kaum berdasi dengan gaji yang tinggi, ini yang kemudian dinyatakan sebagai kaum berdasi sedangkan para kelas pekerja dan buruh biasanya tidak menggunakan dasi didalam keseharian mereka.

Dasi sebagai pelengkap penampilan pria agar terlihat rapi, menawan dan berwibawa, sebenarnya sudah mulai dikenal semenjak zaman batu sebagai simbol tingginya status sosial tertentu. Lalu pada masa Romawi Kuno dasi digunakan sebagai pelindung leher. Pada masa shakespears ada "ruff" yang bertumpuk-tumpuk hingga "Cravat" dari kroasia dimana keindahan dan cara mengikatnya menunjukkan kelas si pemakai, yang konon memerlukan waktu berjam-jam untuk mengikatkan Cravat tersebut agar terlihat menarik. Ada sebuah takhayul ketika Napoleon Bonaparte melilitkan Cravat hitam memutari leher hingga akhirnya menang peperangan, dan justru mengalami celaka dalam peperangan waterlo ketika memakai cravat putih.

Pada tahun 1860 penggunaan cravat seperti dasi yang kita kenal saat ini menjadi populer dan digandrungi sebagai aksesoris pelengkap penampilan, seiring dengan berkembangnya model pakaian kemeja berkerah. Setelah itu, barulah diciptakan bentuk dasi kupu-kupu yang mulai populer pada tahun 1890-an.

Penggunaan dasi sebagai pelengkap penampilan kaum pria telah ada semenjak jaman prasejarah hingga dewasa ini, menunjukkan bahwa dasi merupakan aksesoris kaum pria agar terlihat menarik, berwibawa, menawan, terpelajar ataupun berkelas. Hal ini juga menjadi simbol maskulinitas kaum pria, meskipun seiring perkembangan zaman saat ini, juga di ciptakan dasi yang lebih feminim bagi kaun wanita terutama mereka yang bekerja di kantor-kantor. Namun tetap image maskulin adalah penyerta yang paling menonjol dari dasi ini, sebab seperti yang kita ketahui bahwa dasi laki-laki dikenal dengan begitu luas di seluruh dunia. Para artis dunia misalnya, Pink, Avril Lavigne, dan belakangan ini Madonna menggunakan dasi pria sebagai simbol maskulinitas mereka. Sehingga ketika membawakan lagu mereka dengan menggunakan dasi ada sebuah kesan-kesan maskulin menyertai mereka.

Dapat dinyatakan penyebaran penggunaan dasi sebagai aksesoris penampilan bagi kaum pria di seluruh dunia, hadir berkenaan dengan abad globalisasi yang telah muncul semenjak adanya semangat imperialisme dan kolonialisme barat keseluruh dunia. Tidak adanya bukti literatur di Indonesia dan beberapa negara lainnya didunia menjadi bukti bahwa popularitas penggunaan dasi merupakan hasil konstruktivisme oleh budaya Barat terhadap budaya Timur. Secara historis misalnya, penyertaan penggunaan dasi atau Cravat populer di Eropa semenjak era Renaissans dan menyebar keseluruh dunia melalui penjajah, terutama kaum terpelajar dan bangsawan yang ketika itu menduduki negara-negara non eropa sebagai daerah-daerah yang dianggap kurang beradab. Anggapan bahwa penggunaan dasi, dan kemeja lengkap berserta jas yang melekat di dalam pikiran masyarakat sebagai kaum berdasi dari kelas pejabat, pengusaha sukses dan terpelajar dapat dikatakan sebagai bagian dari konstruksi barat yang mengakar semenjak era imperialisme. Namun pada perkembangannya, penggunaan dasi yang saat ini juga populer di kalangan anak muda. Bahkan siapa yang berhasil memadukan dasi dengan pakaian tertentu dapat terlihat lebih funky. Hal ini yang pada akhirnya, Menjadikan industri fashion remaja, memadukan dasi dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans hingga dasi yang di padukan dengan kaus-kaus tertentu dan celana skinny.

Daftar Pustaka

Stephey, B. J. 13 Juni 2008. A Brief History of Neck tie. [online]. Tersedia : http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,1813960,00.html (diakses, 03/04/2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline