Lihat ke Halaman Asli

Abhipraya

Diperbarui: 25 Juli 2015   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Abhipraya"]Ada beberapa hal di dunia ini yang kadang jika dilihat dari satu sudut pandang mungkin orang akan berkata, betapa mengenaskannya hidup seseorang tersebut namun jika dilihat dari sudut pandang lain orang juga mungkin untuk mengatakan mengapa dia tidak menyerah saja? Untuk apa bersusah-susah melewati sesuatu hal yang memiliki peluang keberhasilan paling besar hanya 25 dari 100. Namun, beberapa orang ebih pemilih untuk melakukannya. Mereka yang dipilih dan memilih dirinya sedniri untuk melakukan itu. Kadang aneh memang mengapa kebanyakan yang berani mengambil 25% keberhasilan itu kebanyakan hanya mereka yang seringkali entah beberapa kali sebelumnya pernah mengalami sesuatu yang hanya memiliki dua kemungkinan yaitu lulus dengan tegar atau kalah dengan pemikiran negatif dan trauma yang tetap menghantuinya. Tidak adil memang tapi inilah hidup dengan segala skenario yang telah disiapkan Maha Pencipta. Mau protes sama siapa? Protes sama Tuhan? Memangnya siapa kamu, berani menyalahkan dia yang maha segalanya,sementara dibandingkan semesta ini kamu hanya butiran debu dan satu dari milyaran aktor di muka Bumi ini. Skenario awal ceritanya sudah ada tergantung bagaimana kamu menjalankan peranmu, jadi pemeran utama yang tangguh atau sekedar pecundang yang tak berani menghadapi masalah dan problematika hidup. Ya ini tentang seorang aktor kehidupan yang harus melakoni skenario dengan jalan cerita tidak terlalu bagus hmm, bukan tebih tepatnya skenario yang entahlah akupun bingung mengatakannya dalam satu kata terlalu rumit. Cerita anak manusia yang memang ada di luar sana mungkin jarang disadari oleh mereka yang terlanjur bahagia dengan skenario indah. Sebut saja dia Abhipraya, seperti yang dia katakan padaku saat aku bercakap-cakap dengannya beberapa waktu lalu. Mulanya hanya kalimat-kalimat biasa hingga dia mengatakan semuanya. Saat itu dia masih berusia sekita 16 tahun, seorang remaja yang baru merasakan putih abu. Masa-masa yang seharusnya terasa indah dan penuh kenangan. Tapi tidak bagi Abhipraya. Dia bilang kepadaku, sebenarnya dia sudah tahu bapaknya tak mengizinkan ibunya untuk kembali melintasi angkasa kembali ke negeri sebrang, mengais rezeki demi mencari secercah kehidupan yang menurutnya akan menjadi lebih baik. Sang ibu berontak dia tak mau hanya diam tanpa bisa melakukan apapun. Mulanya semua baik-baik saja perlahan bapaknya menerima kenyataan bahwa sang istri pergi untuk membantunya. Hingga sebulan sebelum kepulangan sang istri dari tanah sebrang, dia mendengarnya sendiri pengakuan dari mulut lelaki yang menjadikannya ada di dunia ini. “Maafkan bapak nak, bapak tak bisa menahan lagi. Bapak sekarang punya wanita lain selain ibumu.” Awalnya dia tak bisa mencerna semua itu sampai dia sadar bapaknya sudah nikah lagi dengan wanita lain. Bukan, bukan perasaannya yang saat itu hancur, tapi suatu bagian dari otaknya yang membuatnya berpikir dan merasakan bagaimana perasaan ibunya mengetahui hal ini. Berbagai hal sudah berkecamuk di hatinya. “Wanita mana yang tidak hancur lebur hatinya melihat dan mengetahui pria yang selama ini mengarungi lautan kehidupan bersamanya lantas memasukkan wanita lain ke dalam kehidupan mereka? Aku memang laki-laki tapi aku paham. Aku tahu perasaan ibu waktu itu seperti apa hancurnya tapi saat itu dia memilih untuk mengikhlaskan pria yang dicintainya untuk wanita lain dan memilih pergi. Malah aku yang tak terima dengan hal itu jika saja waktu itu ibu mengizinkanku memarahi bapak. Sayangnya ibu bukan wanita seperti itu.” Katanya padaku. Bahkan akupun baru tahu pil pahit yang harus dia telan beberapa tahun lalu itu.

“Orangtuaku bercerai titik keputusan akhir yang tak bisa diganggu gugat. Dunia terasa runtuh untuk pertama kalinya aku. Rasanya saat itu aku ingin pergi ke tengah rel kereta api berteriak sekencang mungkin saat kereta datang di hadapanku. Tak ada lagi tempat untuk pulang yang utuh sandaran itu telah terbelah terpecah. Tidak ada lagi dermaga tempatku melabuhkan penat dan cerita. Hancur lebur. Aku benar-benar hampir kacau saat itu. Buat apa sekolah? Jadi anak baik ya? Untung tak sampai terpikir di kepalaku obat-obatan terlarang itu. Tuhan masih sayang padaku. Tuhan mengirimkan mereka, mengirimkan kalian. Aku bukan satu-satunya di dunia ini yang mengalami hal ini. Masih ada orang di luar sana yang lebih buruk nasibnya. Sampai yang paling kuingat saat itu ada seorang kawanku berkata. Hei bukan hanya kamu yang seperti ini, kamu tidak sendirian. Ceritaku memiliki tema yang sama denganmu, ayahku pergi gak tahu ke mana tapi aku masih baik-baik saja sampai sekarang. Terserah kamu sih mau jadi hancur, terpuruk dan berujung gak dapat apa-apa atau memilih jalan yang lebih baik. Begitulah katanya kawanku itu. Perlahan aku sadar itu adalah batu yang menyandungku bukan untuk menghentikanku. Masih ada harapan banyak harapan. Aku tak mau menampilkan sisi lainku yang lemah, biar ada sisi lemah itu tak boleh aku perlihatkan. Aku harus melanjutkan hidup. Aku bisa. Aku pasti kuat. Aku masih punya satu dermaga walau bukan dermaga seperti orangtuaku. Dermaga yang berbeda ya kalian kawan yang menjadi keluargaku bukan sekedar kawan.”

Saat itu aku termenung, memang benar bahkan bila tak tahu benar dia kelihatan kuat, bisa menyimpan rapi kepahitan itu. Berusaha kuat menyimpannya di tumpukan paling bawah. Sulit dia bilang untuk mengenyahkan kenangan buruk itu dari dirinya. Tapi bukan artinya harus dibagi dan diberitahu pada setiap orang. Sesungguhnya dialah motivator itu yang berusaha tetap berdiri, bangkit perlahan dan tetap berjalan. Ketika kawan-kawan yang lain terjatuh, sakit atau hal buruk apa yang menimpa kawan-kawannya dia sigap menghibur, berusaha membantu. Dia seperti harapan yang selalu berusaha menyala menerangi sekelilingnya. Sayang, skenario bagus nampaknya belum diraih sepenuhnya oleh Abhipraya. Masih ada gelombang besar yang siap menghantam perahunya. Tidak sebesar gelombang yang waktu itu tapi ini tentang harapannya, keinginan yang sudah lama dia tulis tebal, besar dan jelas dalam daftar mimpinya. Bagi remaja-remaja lain seusianya urusan itu hanya berhubungan dengan bagaimana caranya kamu bisa mendapatkan jatah satu kursi di jurusan serta perguruan tinggi yang kamu inginkan. Urusan biaya? Oh itu urusan orangtua. Kamu cuma perlu duduk manis di dalam kelas. Urusan orangtua, kecuali buat segolongan orang termasuk Abhipraya. Haruskah aku melibatkan orangtuaku, untuk sesuatu hal di luar kemampuan mereka? Membuat mereka sedih karena sesuatu yang muluk. Cukup doa dan restu itu lebih berharga buatku aku yakin dengan kekuatan doa mereka yang membuatku terlahir di dunia ini jika ada orang yang bertanya padanya kenapa kamu memikirkan biaya kuliah anak muda. Dia memang menjalani semuanya dengan optimis, usaha yang lebih apalagi dibanding dengan diriku. Tapi ingat usaha lebih bukan jaminan skenario yang kamu dapat adalah skenario bagus seperti yang kamu mimpikan. Lembar demi lembar soal yang berusaha dia isi dengan jawaban terbaik, dengan doa yang selalu teruntai pada setiap soal yang dia isi. Tapi kami terpaksa harus pergi lebih dulu meningggalkan Abhipraya walau kami berusaha menghiburnya dan tak nampak kesedihan mendalam dalam raut wajahnya. Ah dia kan memang pintar berakting seolah semuanya baik-baik saja. Pintar melakonkan salah satu sisi dalam dirinya dan menyembunyikan sisi kelamnya, di mana mungkin di situ ada kesedihan, kekesalan dan kesepian serta penantian yang menyatu jadi satu. Badai kedua itu datang saat kawan-kawannya pergi meninggalkan kota kecil itu menuju tempat mereka mencari ilmu. Abhipraya? Dia masih ada di kota kecil itu. Semua mengira ombak besar itu meruntuhkan harapannya nyatanya? Dia masih kokoh. “Masih ada tahun depan, satu tahun buat belajar masa tidak cukup. Sini, berikan buku-buku soal kalian buat tes masuk. Daripada sesak di kamar kalian, dengan senang hati aku akan menampungnya di kamarku.” Dia masih bisa tertawa saat itu. Malah membesarkan hati golongan remaja menuju dewasa yang tak pernah jauh dari orang tua dan hampir selama 365 tak pernah jauh dari rumah, dengan berat hati menempati kota baru yang jauh dari rumah demi masa depan. Meskipun lembar demi lembar soal telah berusaha dia isi dengan jawaban terbaik, dengan doa yang selalu teruntai pada setiap soal yang dia isi. Tapi kami terpaksa harus pergi lebih dulu meningggalkan Abhipraya walau kami berusaha menghiburnya dan tak nampak kesedihan mendalam dalam raut wajahnya. Ah dia kan memang pintar berakting seolah semuanya baik-baik saja. Pintar melakonkan salah satu sisi dalam dirinya dan menyembunyikan sisi kelamnya, di mana mungkin di situ ada kesedihan, kekesalan dan kesepian serta penantian yang menyatu jadi satu. Setahun berlalu, seolah waktu berjalan terasa begitu cepat. Abhipraya siap dengan segala senjata barunya yang telah diasah tajam untuk kembali ke medan perang. Kali ini dia telah mengorbankan sebuah cita-citanya duduk di salah satu kursi kelas tempat para diplomat perwakilan bangsa belajar. Aku masih ingat kala itu dia sempat berkata padaku ditelpon “Tak apa, bantu doa ya untuk yang terbaik.” Aneh memang dia yang berperang, kami kawan-kawannya yang merasa cemas, gugup tak karuan yang bahkan ujian hampir setiap bulanpun tak pernah segugup ketika dia kembali ke medan perang tempat perebutan satu kursi. Lebih aneh, perang usai tersirat sedikit nada pesimis dalam dirinya. Nada yang cukup jarang terdengar dari mulutnya. Kami paham tak ada yang bisa meredakan kecemasan yang mulai tumbuh itu, hanya bisa berusaha berada di sampingnya walau pun itu ku pikir sama dengan duduk diam. Namun bisa apa saat itu? Cuma bisa satu hal, menunggu hasil pengumuman tes. Hari besar itu tiba, kami menunggu kedatangannya sore itu. Berkumpul bersama kami dan membagi kabar baik. Dia datang sore itu, dengan muka kuyu, lesu, lengkap dengan kantong mata dan tanpa senyuman sedikit pun. Aku tahu, kami tahu jawabannya apa. Kata tidak untuk kedua kalinya. Tamat sudah sepertinya, harapan yang perlahan padam. Dia pulang bahkan sebelum kami sempat berkata-kata. Mengatakan akan pergi dari kota ini melupakan mimpinya, melupakan satu kursi itu. Hari itu benar-benar kepanikan, kebingungan yang ada. Semua mencoba mencari di mana ada satu kursi yang tersedia. Satu kursi tanpa membuatnya meminta hal yang tak ingin dia minta pada orang tuanya. Sepanjang sore itu kami hanya mencari dan mencari. Sampai menemukan beberapa harapan. Meski bukan di universitas yang dia inginkan toh bukan perkara lagi sekarang. Yang penting menyalakan kembali harapan itu. Malam kami kirimselebaran formulir-formulir itu padanya. Memintanya mengisi formulir itu. Cuma ada kata terimakasih singkat. Dihubungi ditelpon dicari hilang tak memberi kabar. Sampai aku dan yang lain, kami semua pergi dari kota kecil itu. Apa mungkin dia tak kuat menahan amukan badai kali ini? Lalu mengapa ketika dulu badai pertama dia kuat? Mencari tahu orang yang tak ingin ditemukan sepertinya hal yang percuma, sudah tak ingin ditemuukan kehilangan harapan pula. Ingin rasanya membiarkan tapi tak bisa bagaimanapun kami sudah seperti keluarga. Biarkan saja Abhipraya menemukan jalannya sendiri, tidak usah dipaksa tak akan baik nantinya. Seolah kita yang memaksa dia tetap bertahan mendapat kursi saat ini juga. Dia juga tetap manusia biasa yang memiliki sisi lain yang kadang sisi lain itu tak ingin diketahui oleh orang lain. Tersimpan rapat dalam lubuk hatinya. Kita, jadi sahabat hanya bisa membantunya menuntun menemukan kembali jalan dan kalau tak bisa menuntun langsung, doakanlah dia kembali menemukan jalannya yang terbaik. Pada akhirnya itulah kalimat yang terlontar dari mulut salah seorang sahabat kami saat Abhipraya masih entah di mana, mungkin di kota A daerah B atau di rimba raya yang tak terlihat pada peta dunia. Semua berlalu tanpa kabar, sampai malam itu tiba-tiba sebuah SMS masuk. ‘Doakan aku ya besok pengumuman tes beasiswa aku sudah diterima sudah dapat kursi.’ Abhipraya setelah berhari-hari tanpa kabar tiba-tiba datang dengan kabar itu. Ingin rasanya berteriak di depan wajahnya, meluapkan segala kekesalan gara-gara bocah itu. Tapi aku lega sungguh, dan ketika pada akhirnya kami bertemu kembali pertanyaan itu terlontar dari bibirku. “Hei Abhipraya masih berani bilang aku punya harapan?” “Berani siapa takut ya setelah ku pikir-pikir aku masih mau bersaing dengan kalian bermimpi bersama-sama. Maaf saat itu aku memang hampir kehilangan harapan tapi malam ketika kalian memberiku formulir-formulir aku sadar satu hal masih ada yang peduli padaku. Aku tidak sendirian ada kalian yang mau membantuku berdiri dan berjalan lagi. Walaupun aku butuh waktu untuk berdamai dengan sisi lain diriku yang kadang menyuruhku berhenti. Tapi aku tidak mau berhenti, terus melangkah meski hidup tak mudah. Karena semua boleh bermimpi kan? Dan itu hak semua orang termasuk aku termasuk kalian semua.” Seperti kata Abhipraya bermimpilah dan berharap sepuasmu biar ketika satu mimpi dan harapanmu tak bisa kau jadikan nyata masih ada semilyar harapan lain yang berusaha membangkitkanmu. Karena seburuknya skenario itu pasti ada jalan cerita yang indah, kapan terjadi? Hanya dia pembuat skenario itu yang tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline