Lihat ke Halaman Asli

Tirto Setiawan

Program Studi Ilmu Politik, FISIP UIN Jakarta

Liku-Liku Keberadaan dan Masalah Atas Eksistensi Polisi Moral di Iran

Diperbarui: 8 Desember 2022   09:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambaran Polisi Moral Iran. (Wikimedia Commons/Fars Media Corporation/Satyar Emami)

Setelah menghadapi gelombang protes selama lebih dari dua bulan di berbagai penjuru Iran, seperti dikutip dalam pernyataan Jaksa Agung Mohammad Jafar Montazeri, Iran telah membubarkan polisi moral, karena dianggap tidak ada hubungannya dengan keadilan. Juru bicara dewan presidium parlemen, Seyyed Nezamordin Mousavi menganggap, demoralisasi tersebut akibat dari krisis ekonomi atas sanksi dari AS.

Keputusan tersebut merupakan buntut atas kematian seorang perempuan Kurdi, Mahsa Amini, yang diduga mendapat perlakuan represif dari polisi moral, karena diduga melanggar aturan berpakaian yang ketat di Iran. Hal itu yang kemudian memicu gerakan demonstrasi besar-besaran di seluruh penjuru Iran yang berlangsung selama berhari-hari. Gerakan ini dipimpin oleh mayoritas perempuan yang menyuarakan tuntutan keras tentang 'Perempuan, hidup, kebebasan' bersamaan dengan nyanyian 'Matilah diktator' yang diarahkan pada Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei.

Demo masyarakat Iran menuntut kematian Mahsa Amini. (Foto: AFP/OZAN KOSE)

Bentrokan antara pendemo dan Garda Revolusi Iran semakin tak terhindarkan yang per tanggal (30/11), tercatat sedikitnya 448 orang tewas, kata Iran Human Rights (IHR). Hal itu menuai kecaman berbagai pihak, termasuk diantaranya Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang memerintahkan penyelidikan tingkat tinggi atas penindasan mematikan tersebut. Kecaman itu pun ditanggapi pemerintah Iran sebagai rendahnya kredibilitas moral negara-negara Eropa dan Amerika Serikat dengan mengerdilkan HAM dan menjadikannya alat untuk meraih tujuan politik semata, yang seharusnya HAM adalah kepentingan bersama.

Perlu diketahui, aturan berpakaian publik yang ketat untuk laki-laki dan perempuan telah diberlakukan oleh penegak hukum sejak jatuhnya monarki Iran yang didukung AS (Revolusi Iran 1979). Pada tahun 1983, jilbab menjadi wajib dikenakan oleh perempuan di Iran. Polisi moral akan terlebih dahulu mengeluarkan peringatan kepada para pelanggar sebelum mengambil tindakan tegas dan menangkapnya. Unit ini terdiri dari laki-laki berseragam hijau dan perempuan bercadar hitam.

Peran unit ini berkembang, tetapi selalu kontroversial. Di bawah presiden yang berhaluan keras, Mahmoud Ahmadinejad, polisi moral secara resmi dikenal sebagai Gashte Ershad atau 'Patroli Bimbingan', yang dibentuk untuk menyebarluaskan 'kesopanan' dan 'jilbab'. Entitas ini diciptakan oleh Dewan Tertinggi Revolusi Kebudayaan Iran. Sejak Presiden Hassan Rouhani yang lebih moderat berkuasa, aturan berpakaian perlahan-lahan bergeser ke arah liberal. Pada bulan Juli tahun ini, kursi kepresidenan beralih kepada Ebrahim Raishi. Ia menilai bahwa musuh Iran dan Islam mengincar nilai-nilai budaya dan agama masyarakat, maka dari itu ia meminta semua lembaga negara untuk menegakkan hukum jilbab.

Namun, hingga kini setelah pernyataan jaksa agung dilontarkan, konfirmasi secara langsung terkait pembubaran polisi moral dari penanggung jawab unit tersebut yakni, Kementerian Dalam Negeri Iran, belum juga dikeluarkan. Media pemerintah Iran juga mengatakan Montazeri tidak bertanggung jawab dalam mengawasi unit tersebut. Pembubaran itu juga dicurigai oleh masyarakat Iran, khawatir akan digantikan oleh unit yang justru lebih buruk. Mereka juga mengatakan bahwa masih ada tekanan sosial yang kuat di negara tersebut.

Sumber: Reuters dan VoA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline