Lihat ke Halaman Asli

Desak Putu Tirtha Nirmala S

Mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta

Hubungan AS dan Arab Memanas, Ada Apa Gerangan?

Diperbarui: 9 Oktober 2022   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di tengah ancaman krisis energi global akibat perang Rusia-Ukraina, OPEC+ justru mengumumkan pengurangan pasokan terbesarnya sejak 2020. Aliansi OPEC+ mengumumkan pada Rabu (05/10/2022) bahwa mereka akan menurunkan produksi minyak secara signifikan mulai bulan depan sebesar 2 juta barel per hari. Dilansir dari CNBC, pengurangan produksi dilakukan untuk memulihkan harga minyak mentah yang telah turun menjadi sekitar US$ 80 per barel setelah sempat mencapai US$ 120 per barel pada awal Juni. Skenario yang akan datang akibat kebijakan tersebut yaitu lonjakan harga minyak dalam waktu dekat kecuali AS menemukan pasar minyak lain untuk memenuhi permintaan pasokan negaranya. Keputusan OPEC+ mengakibatkan AS untuk mempertimbangkan kembali hubungannya dengan Arab Saudi. 

Dikutip dari situs msnbc, terdapat pernyataan bersama pejabat tinggi keamanan dan ekonomi di gedung putih yang mengatakan bahwa “presiden kecewa dengan keputusan picik OPEC+ untuk memangkas produksi sementara ekonomi global menghadapi dampak negatif lanjutan dari invasi Putin ke Ukraina. Pada saat menjaga pasokan energi global sangat penting, keputusan ini akan memiliki dampak paling negatif pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang sudah terhuyung-huyung akibat kenaikan energi.” Kekecewaan AS terhadap sikap OPEC+ ini tidak datang secara tiba-tiba. AS berulang kali meminta agar produksi minyak ditingkatkan untuk mengatasi krisis energi dan menurunkan harganya di hilir. 

Pemerintah AS telah melobi OPEC+ selama berminggu-minggu untuk memberikan suara dalam menentang pengurangan produksi minyak. Biden berupaya agar BBM AS tidak melonjak menjelang pemilihan paruh waktu untuk mempertahankan kendalinya atas Kongres AS. Namun, lobi tersebut gagal mencegah terjadinya pengurangan produksi. Arab Saudi bahkan mengatakan bahwa jika Amerika Serikat menginginkan lebih banyak minyak di pasar, AS harus mulai memproduksi lebih banyak minyaknya sendiri. 

Ketergantungan AS terhadap minyak mengakibatkan AS berada di bawah belas kasihan rezim anti demokrasi di seluruh dunia dan hal ini sangat menurunkan harga diri AS sebagai negara hegemoni. Oleh karena itu, wacana RUU No Oil Producing and Exporting Cartels (NOPEC) dibentuk sebagai alat dan otoritas tambahan dalam mengurangi kontrol OPEC atas harga energi. Negara-negara OPEC kemudian menanggapi RUU tersebut akan menimbulkan kekacauan yang lebih masif terhadap pasar energi. OPEC menegaskan bahwa mereka bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan stabilitas ke pasar energi. Dilansir dari reuters , Menteri Energi Pangeran Abdulaziz menambahkan bahwa “OPEC mempertimbangkan kepentingannya dengan kepentingan dunia karena kami memiliki kepentingan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi global dan menyediakan pasokan energi dengan cara terbaik.” Ketegangan semakin bertambah karena Amerika mengatakan bahwa OPEC+ bersekutu dengan Rusia. Namun, dikutip dari reuters, Arab Saudi membalas dengan mengatakan bahwa mereka tidak mempolitisasi minyak atau kebijakan minyak dan kenaikan harga minyak di AS adalah akibat dari kekurangan penyulingan yang telah ada selama lebih dari 20 tahun. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline