Seorang kawan yang belakangan menasbihkan diri sebagai pejalan kaki sejati, berkeluh kesah, suatu hari.
Sekarang ini, katanya, sangat sulit bagi dia yang setiap hari menyusuri jalanan kota, mendapatkan haknya sebagai rakyat; berjalan kaki dengan aman dan nyaman di trotoar.
Bahkan tak jarang pula, jalanan di kota-kota pinggiran pun tak menyisakan ruang yang nyaman bagi orang-orang seperti dirinya.
"Trotoar sudah termakan untuk akses ekonomi. Untuk jualan. Disewakan. Ada retribusinya," ujarnya setengah bersungut.
Agustina,pensiunan dosen sebuah PTN yang hobi berolahraga jalan kaki mengeluhkan pula hal serupa. Berjalan kaki tak lagi senyaman dulu. Persoalannya sederhana, akses aman di bahu jalan yang mestinya ada trotoar, kini semakin banyak terenggut berbagai kepentingan.
"Selain pedagang kaki lima, halte BRT itu juga penempatannya memakan trotoar. Belum lagi pengendara bermotor pun seringkali merampas hak pejalan kaki," ujar Agustina.
Sebelum kendaraan bermotor teramat padat seperti saat ini, berjalan kaki umum dilakukan masyarakat untuk melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat tertentu.
Seiring kemajuan zaman, membaiknya tingkat perekonomian, meningkatnya kebutuhan masyarakat, serta semakin mudahnya akses perkreditan, jumlah pejalan kaki mulai menyusut.
Sebaliknya, kendaraan pribadi semakin banyak berseliweran di jalanan. Hampir semua keluarga kini memiliki sepeda motor. Jumlahnya pun tak hanya satu, tetapi bisa setiap anggota keluarga memilikinya.
Belum lagi dengan mobil pribadi yang kepemilikannya kini tak lagi menjadi simbol status sosial seseorang. Keberadaan transportasi online juga semakin mengurangi jumlah para pejalan kaki.