Lihat ke Halaman Asli

Aku Hanyalah Orang Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu pagi di bulan Agustus tahun 2011, sekitar pukul empat pagi, saya dibangunkan secara paksa. Tampak beberapa orang berpakaian seperti pecalang dan seorang polisi berpangkat Brigadir tanpa sopan santun menggedor-gedor pintu utama rumah saya. Saat ditemui, polisi tersebut mengaku sedang mengadakan operasi kependudukan dan meminta saya untuk menunjukkan Kartu Tanda Pengenal (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang saya miliki. Karena kaget dan juga belum sepenuhnya terbangun, dengan bodohnya saya mengiyakan saja maksud mereka tanpa terlebih dahulu menanyakan apakah para pecalang dan polisi tersebut dilengkapi dengan surat tugas resmi.

Setelah mengamati Kartu Tanda Pengenal (KTP) yang saya berikan kepada mereka, bak teroris, saya beserta dua orang sepupu yang tidak memiliki KTP Denpasar pun digelandang ke kantor Banjar dekat rumah. Sesampainya di kantor Banjar, kami didata dan diharuskan membayar Rp. 20.000 per orang untuk sebuah surat yang menyatakan bahwa kami “menumpang” tinggal di rumah kami sendiri. Benar-benar sesuatu yang tidak masuk akal. Bagaimana tidak, sampai detik inipun rumah yang saya tinggali adalah rumah pribadi dengan akte kepimilikan atas nama ayah kandung saya sendiri. Yang lebih gila lagi, kami diharuskan membayar Rp. 20.000 per orang tiap bulannya jika kami ingin terus dengan aman tinggal di rumah kami sendiri.

Menurut seorang pecalang, KTP Klungkung (sebuah kabupaten di provinsi Bali) yang kami miliki tidaklah cukup. Menurut peraturan (entah peraturan yang mereka buat sendiri atau merupakan peraturan resmi Pemkot Denpasar), kami hanya memiliki dua pilihan jika tidak bersedia membayar Rp. 20.000 per orang tiap bulannya. Pilihan pertama yaitu membuat Kartu Ijin Penduduk Sementara (Kipem) yang hanya berlaku selama tiga bulan. Kata pecalang tersebut, biaya untuk membuat Kipem ini adalah sebesar Rp. 100.000 dan hanya mengikat di wilayah banjar tersebut. Sedangkan pilihan kedua adalah melepas KTP Klungkung kami dan membuat KTP Denpasar. Hanya saja, untuk mendapatkan KTP Denpasar, kami harus tercatat memiliki Kipem terlebih dahulu minimal sebanyak tiga kali berturut-turut.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, jika kami yang tinggal di rumah milik sendiri saja diperlakukan layaknya pendatang yang mengemis tempat tinggal, bagaimana nasib mereka yang merantau mengadu nasib di Kotamadya Denpasar dan harus tinggal dirumah kontrakan atau kos-kosan? Menjadi sebuah ironi, disaat kita semua sejak tanggal 17 Agustus 1945 sepakat untuk menjadi orang Indonesia, tetap saja ada diskriminasi dengan stempel chauvinisme. Ironi itupun menjadi tangis tatkala chauvinisme itu dilakukan di sebuah daerah yang mengaku-ngaku sebagai pulaunya para dewata dan terkenal dengan senyum dan keramahtamahannya di hadapan mata dunia.

Apakah ini wajah lain dari otonomi daerah? Coba anda bayangkan jika hal di atas menimpa diri anda atau keluarga anda sendiri. Selain waktu operasi penertiban yang di luar batas wajar, mereka juga tidak menghormati privasi saya sebagai warga negara Indonesia yang dilindungi oleh hukum dengan menggedor-gedor rumah secara paksa. Seperti sedang mengejar teroris saja. Saya, seperti warga negara Indonesia lainnya juga patuh membayar pajak dan segala kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku di republik ini, tapi mengapa saya harus diseret-seret seperti tadi hanya lantaran KTP saya bukan KTP Denpasar?

Saya sendiri sebenarnya adalah seorang keturunan Bali yang lahir dan dibesarkan di Jakarta, dan baru tiga tahun ini tinggal di Bali. Ketika peristiwa di atas terjadi, saya sendiri tengah melakukan penelitian awal untuk sebuah desertasi doktoral mengenai hubungan budaya dan kewirausahaan. Tadinya karena diiming-imingi oleh kisah-kisah manis orang tua tentang keluhuran budaya Bali dan semangat kedaerahannya yang kuat, Bali saya jadikan salah satu kasus penelitian, selain Jakarta, Jogjakarta, dan Salatiga. Saya pun pernah melakukan penelitian di berbagai wilayah di Indonesia, seperti Ambon, Lombok, dan Kupang, namun baru kali ini saya diperlakukan bak seorang teroris di tanah kelahiran orang tua saya sendiri. Dan sepertinya, karena pengalaman ini sebagai seorang peneliti saya harus mempertanyakan kembali dengan serius kebenaran dari kisah-kisah manis tentang perilaku orang Bali dan budayanya.

Mungkin pengalaman saya tadi sesuai dengan apa yang telah ditulis oleh Gede Aryantha Soethama di dalam bukunya “Bali tikam Bali”. Dan jika ditilik dari sejarah, asal usul Bali memang penuh diwarnai dengan darah dan perang saudara. Bahkan di dalam sebuah buku yang berjudul “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004”, Professor M. C. Ricklefs dari Monash University mencatat bahwa ekonomi Bali hingga permulaan abad 19 masih sangat bergantung pada ekspor budak dan candu. Tampaknya buat raja-raja di Bali ketika itu, sistem pengairan “ala Subak” yang mendunia itu lebih rumit ketimbang menjual rakyatnya sendiri sebagai budak. Mengejutkan bukan, tidak seperti yang lazimnya ditemukan di dalam buku-buku sejarah “ala Indonesia” pada umumnya. Barulah pada pertengahan abad 19, tepatnya setelah Sir Stamford Raffles melarang perdagangan budak di kawasan Asia Tenggara, raja-raja di Bali berhenti menjual rakyatnya dan mulai mengekspor hasil bumi dan daging babi.

Bahkan pada saat operasi pembersihan gembong PKI pada tahun 1965, perburuan terhadap simpatisan PKI di Bali lebih banyak dilakukan oleh warga sipil, bukannya tentara seperti yang umumnya dialami oleh provinsi-provinsi di Jawa ataupun daerah lainnya di Indonesia. Para warga sipil yang terutama berasal dari partai lawan politik PKI yang secara sukarela menjadi algojo tersebut dikenal dengan nama “Pasukan Tameng”. Saking beringasnya pasukan ini, Komandan RPKAD Sarwo Edhi, di dalam buku “The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966” yang disunting oleh Robert Cribb, ketika itu sampai-sampai menyatakan bahwa “Di Jawa kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang-orang komunis. Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu jauh”. Soe Hok Gie di dalam buku yang sama memberikan angka yang paling konservatif dengan menyatakan bahwa 80.000 orang telah dibantai di dalam peristiwa tersebut.

Jadi apakah berlebihan jika saya menyetujui sebuah hipotesa yang menyatakan kalau senyum orang Bali hanya untuk para pendatang dan uang mereka? Karena pada kenyataannya, keramahan Bali hanyalah diperuntukan bagi tamu-tamunya yang kini sedang menjarah tanahnya secara halus, jengkal demi jengkal dengan uang mereka. Sedangkan untuk sesama orang Bali, mereka tetap seperti apa yang Gede Aryantha Soethama tuliskan, “saling tikam”. Oleh sebab itu, jika ada yang menanyakan, “Apakah saya orang Bali?”, akan langsung saya jawab, “Apakah kita sudah merdeka? Jika iya dan negara ini bernama Indonesia maka saya hanyalah orang Indonesia, yang masih mendambakan kebebasan untuk dengan nyaman di rumahnya yang sudah merdeka tanpa harus membayar upeti lagi seperti zaman penjajahan dulu”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline