Lihat ke Halaman Asli

Karena Sejarah Tidak Mencatat Si Pendengki

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tersebutlah seorang pejalan kaki melintas dekat perkampungan. Duduk bergerombol di perbatasan kampung, sekelompok orang yang tampaknya merupakan jawara di situ. Kerja mereka tak lebih hanya mengganggu siapa yang lewat dan kadang mengutip sedikit upeti.

Maka ketika pejalan kaki ini lewat, mereka iseng menimpukinya dengan batu. Kena? Beberapa. Tapi ia tak membalas, hanya mengibaskan debu yang menempel di baju dan terus berjalan.  Melihat itu gerombolan jawara ini menjadi makin panas dan penasaran. Lebih banyak lagi batu yang melayang dari kubu mereka, namun si pejalan tak terusik, malahan ia mengantongi beberapa batu yang jatuh di kakinya.

Esoknya ketika lewat jalan yang sama, kejadian yang sama terulang lagi, kali ini ditambah lumpur dan tanah.  Masih sama seperti semula, si pejalan kaki tak balas melempar, malah ia kini membawa tas besar untuk mengumpulkan semua material yang dilempar. Ketika sudah penuh, dikosongkan isi tasnya ke tanah lalu mulai ia menyusun satu demi satu batu yang diperoleh dengan menggunakan lumpur sebagai perekat.

Hari-hari berikutnya kejadian yang sama terulang. Tak cukup cuma batu kini ikut pula caci maki kasar. Rupanya semakin didiamkan semakin meradang mereka. Toh lawan mereka tak menanggapi, dengan kalem ia memunguti setiap batu yang jatuh dan menumpuknya, makin lama makin tinggi hingga akhirnya membentuk tembok kokoh yang memisahkan kedua belah pihak.

Sampai di sini apapun yang dilempar gerombolan liar itu hanya mengenai tembok. Sampai habis tenaga mereka melempar segala macam benda, tak ada pengaruhnya sama sekali. Tembok itu tak runtuh dan si pejalan kaki tak bisa disentuh sama sekali, anteng berlindung di balik dinding yang sebetulnya disumbangkan oleh mereka sendiri.

Dalam hidup ada saja orang yang tak senang, seringkali bahkan tanpa alasan yang logis. Mereka sibuk mengkritik, mencaci dan mengumbar komentar dengan nada menghina. Ada dua pilihan dalam menghadapi orang-orang seperti ini, pertama ikut berperang kata dengan mereka atau kedua, tidak mempedulikan dan fokus pada prestasi. Jika kita membalas dengan cacian juga maka bukan hanya energi dan waktu yang habis, kualitas kita juga turun serendah orang-orang itu.

Pilihan kedua lebih logis, dari pada buang waktu mengurusi sekelompok anjing yang menggonggong ke kafilah lebih baik tenaga dan waktunya dipakai untuk fokus bekerja yang hasilnya bisa dinikmati banyak orang.

Dan bukankah hal ini yang belakangan kita baca di media dan lihat di TV. Anda mungkin berada di salah satu kubu atau bukan keduanya. Jika anda tidak bergabung dalam kelompok manapun maka pertanyaan selanjutnya cukup dewasakah anda untuk menerima fakta kalau di dunia ini ada orang yang lebih suka kerja dari pada bergosip? Tengoklah di sekitar, dengan mudah kita akan menemukan orang-orang seperti itu, mereka tenggelam dalam pekerjaan dan masa bodoh dengan omongan orang yang dilandasi rasa iri.

Mereka tidak perlu memamerkan prestasi di setiap kesempatan karena hasil kerja merekalah yang melakukannya melalui masyarakat yang menikmati manfaatnya.  Kelak setelah meninggal monumen karya mereka akan menceritakan sosok dan pengabdian mereka pada dunia hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang senang menghina itu? Ah, siapa yang masih mengingat nama mereka? Karena Sejarah tidak memberikan tempat pada kaum pendengki dalam bukunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline