Stunting kembali disebutkan dalam pidato visi Indonesia di SICC pada Minggu malam 14 Juli 2019. Isu ini sudah pernah dikumandangkan pada masa kampanye dalam debat cawapres yang berlangsung pada Minggu,17 Maret 2019. Apa yang membedakan pidato saat kampanye dengan setelah beliau terpilih adalah penekanan kembali pada keterbukaan terhadap perubahan.
Dalam pidatonya dikatakan bahwa masyarakat Indonesia harus terus mencari model baru, cara baru serta nilai-nilai baru dalam mencari solusi dari setiap masalah dengan inovasi-inovasi.
Pola-pola lama dan cara-cara lama yang sudah kurang atau tidak efektif harus terus dievaluasi dan dijadikan lebih efektif. Penegasan yang disampaikan ini juga berlaku terhadap percepatan penurunan stunting di Indonesia sebab jika tidak maka percepatan penurunan stunting hanya sekedar konsep di atas kertas.
Seperti diketahui, stunting hingga sekarang masih menjadi permasalahan dunia. World Bank, WHO dan UNICEF memperkirakan ada 150,8 juta anak balita di seluruh dunia mengalami stunting pada tahun 2017 dan Indonesia adalah negara jumlah anak stunting terbanyak keempat di seluruh dunia (30,8 persen anak balita Indonesia mengalami stunting).
Pada tahun 2012, sebanyak 176 negara (termasuk Indonesia) yang dikenal dengan World Health Assembly sepakat untuk menurunkan stunting sebesar 40% pada tahun 2025. Indonesia juga telah membuat target penurunan stunting pada anak baduta yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015 -- 2019 yaitu sebesar 28% pada tahun 2019. Target global dan RPJMN inilah yang menjadi titik gerak melakukan percepatan penurunan stunting.
Ini menjadi sangat penting karena dampak dari stunting ini cukup serius dan mampu mempengaruhi kualitas satu bangsa dan bukan saja mempengaruhi satu generasi, bahkan dapat berdampak terhadap tiga generasi selanjutnya seperti yang dituliskan dalam The Lancet tahun 2008. Apalagi pada tahun 2030 -- 2040 Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi yaitu jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (usia dia bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).
Jika bonus ini didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang baik maka akan berdampak positif terhadap negara Indonesia. Periode ini tentunya menjadi kesempatan emas sebagai modal dasar untuk meningkatkan daya saing bangsa yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang akan jauh lebih baik; dengan demikian Indonesia berpeluang menjadi negara maju dan besar. Kesempatan inilah yang harus disambut dengan menyiapkan kualitas generasi muda Indonesia dengan memastikan bahwa generasi muda Indonesia didominasi oleh generasi bebas stunting.
Mewujudkan generasi muda bebas stunting memang tidak mudah tetapi sangat mungkin untuk diwujudkan. Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya antara lain di tingkat internasional dengan bergabung dalam gerakan Scaling Up Nutrition (SUN) sejak tahun 2012 yang memperjuangkan prinsip bahwa semua individu di seluruh dunia berhak memperoleh makanan dan gizi baik dan di tataran nasional.
Indonesia juga telah merilis Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi bahkan untuk mempertajam solusi terhadap isu stunting, pada tahun 2017 Indonesia meluncurkan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024 dengan sasaran 100 kabupaten/kota pertama sebagai prioritasnya.
Pengentasan stunting di Indonesia memang merupakan tantangan besar mengingat Indonesia merupakan negara besar, yang terdiri dari 17,504 pulau dengan 34 provinsi dan 514 kabupaten/ kota. Indonesia merupakan negara yang paling luas di Asia Tenggara yang memiliki kondisi geografis (karakteristik wilayah), karakteristik sosial budaya, perilaku, tingkat kemiskinan yang berbeda-beda antara satu pulau dengan pulau yang lain dan bahkan antara satu kabupaten/ kota dalam satu provinsi.
Faktor-faktor geografis ini harus dipertimbangkan dalam membuat arahan/ kebijakan/ program stunting di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting harus diterjemahkan ke dalam konteks wilayah atau program yang berbasis wilayah. Tidak cukup sampai disitu, data berbasis wilayah harus dianalisis dengan metode analisis yang memperhitungkan konteks wilayah atau yang dikenal dengan analisis spasial.