Lihat ke Halaman Asli

Say No to Save Polri dan No to Save KPK

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menerima gugatan penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK di Prapradilan menyisakan polemik dan distingsi terhadap putusan tersebut.

Banyak anggapan berseliweran, ada yang mengangap 16 Februari sebagai hari kebangkitan koruptor, ada juga berpendapat sebagai hari kehancuran KPK dan sebagainya yang kesemua anggapannya rata-rata bersimpati dan berempati kepada KPK.

Beberapa pekan belakangan ini ruang publik disesakkan oleh kisruh antara KPK versus POLRI, setiap sisi memiliki carapandangnya masing-masing, yang pro-KPK bicara soal penegakan hukum dan bagi kelompok pro-Polisi bicara soal keadilan, begitu sebaliknya, semua bicara Save KPK dan pada sisi lain orang juga bicara Save Polisi.

Jika menelisik sejarah Polri dan KPK, bahwa keduanya lahir dari pergolakan politik pasca reformasi, - Polisi terbentuk pasca pencabutan Dwi Fungsi ABRI, sedangkan KPK lahir dengan diawalinya TAP MPR No. 11 Tahun 1998 tentang pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tambah dengan semangat Civil Society dalam melawan korupsi di Indonesia.

Maka kasus Polisi Versus KPK harus dipahami bahwa sejarah keduanya terbentuk dari proses politik sehingga gambaran utuh hari ini wajar penegak hukum sedang bermain-main dalam wilayah politik atau lebih ekstrim bahwa konflik Polisi Versus KPK akibat setiran dari permainan politik.

Spekulasi pasca putusan Prapradilan yang memenangkan Komjen Pol Budi Gunawan memberikan paradoks bagi pemerintahan Jokowi-JK, pasalnya Jokowi adalah orang yang paling bertanggung jawab atas semua kejadian ini. Asal muasal masalah diakibatkan, pertama Jokowi mengusung nama, calon tunggal Kapolri kemudian nama calon Kapolri diajukan ke DPR untuk di uji kelayakan dan kepatutannya. Kedua dalam penyusun “kabinet kerja”, Jokowi-JK melibatkan KPK dalam seleksi pemilihan calon menteri, diharapkan agar orang-orang yang masuk dalam jajaran kabinet kerja betul-betul orang bersih terbebas dari skandal korupsi.

Dua pointer di atas merupakan kondisi riil pangkalmuasal perseteruan KPK versus Polri, terlepas dari stigma “Wayang-Dalang” yang dialamatkan kepada Jokowi. Jelasnya jika ditelisik secara seksama terdapat kontras antar point pertama dan point keduanya, dimana dengan kepenuhatian Jokowi mengusulkan nama-nama calon menteri, salah satunya meminta KPK untuk mengoreksi daftar nama calon menteri dimkasud, namun saat pengajuan nama Kapolri, Jokowi sangat ringan hingga hanya satu nama yang diajukan. Sehingga pada titik ini saja menimbulkan pertanyaan besar bagi publik.

Say NO to SAVE POLRI dan NOto SAVE KPK

Institusi Polri dan KPK bukan milik perseroan dimana tokohnya menjadi kunci perwakilan terhadap citra masing-masing keduanya, namun terkadang wajah institusi diwakili oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Ketika orang culas dan nyata-nyata melakukan kecurangan masuk ke dalam lembaga hukum lalu bicara penegakan hukum itu namanya kamuflase dan hasil kerjanya pasti tak jauh dari manipulasi, atau bahkan ketika institusi diisi orang-orang terdidik namun untuk masuk di dalamnya harus melalui jalan suap, maka dipastikan institusi itu penuh tipu muslihat.

Perseteruan dua institusi hukum bukan kali pertama, karena dahulunya pernah ada persetruan serupa di tahun 2009 antara KPK dan Polri dengan istilah “cicak versus buaya”. Sinyalemen permusuhan antara keduanya sebenarnya telah diwanti-wanti oleh Hobes (1588-1679) yang mengisyaratkan pergolakan antara manusia berasal dari keegoisan manusia, dalam teorinya merangkan bahwa “manusia sejak lahir sudah egois dan itu merupakan sifat alamiahnya, mereka akan selalu bertengkar……”.

Meminjam sepotong teori evolusi-sosial – dari sahabat lama (belum mendapat izin mengutip) – orang-orang jahat dan orang-orang baik berkumpul ditempat yang sama maka ia menjadi satu, bisa baik dan bahkan kemungkinan besarnya bisa jahat. Karena dalam perjalanan waktu ketika si jahat melakukan kerusakan kepada si baik, dan si baik kalah – dalam beberapa dekade selanjutnya generasi si baik akan menuntut balas ke pada si jahat, sehingga keduanya akan terus melakukan penyerangan, pengrusakan dan penghacuran.

HUKUM SEBAGAI PANGLIMA

Dari sinyalamen dua teori tersebut, memafhumkan kita bahwa kejahatan – pengrusakan – penghancuran oleh manusia sudah bersifat alamiah, bahkan doktrin agama, seperti Islam melukiskan manusia sebagai “mufsid”, mengingat watak jahat manusia Tuhan sendiri turun tangan dengan mengingatkan manusia untuk tidak lagi melakukan kejahatan – pengrusakan di muka bumi, “La tufsidu fil ardhi ba’da ishlahliha”.

Namun apa boleh buat, permusuhan sudah cukup lama dan publik telah muak melihat drama dua institusi penegak hukum yang sedang berseteru ini, apalagi juga masyarakat selama ini terasa hanya sebagai gerombolan kambing kehilangan pengembalanya yang selalui diintai Srigala. Jangan sampai, karena ada perseteruan antara institusi hukum ini publik semakin kehilangan kepercayaannya, tidak hanya dengan penegak hukumnya bahkan dengan hukum itu sendiri publik sudah tidak ingin lagi percaya.

Maka moment pasca putusan prapradilan adalah momentum Indonesia untuk kembali pada hukum, bukan malah mengugat balik dan terus balik mengugat. Menjadikan hukum sebagai panglima merupakan prasyarat yang baik dalam mendamaikan dua institusi yang sedang berseteru, dan hukum yang baik harus bedasar pada nilai-nilai, ajaran-ajaran moral dan menjujung tinggi adat ketimuran. Dan inilah mestinya menjadi pedoman penegakan hukum di Indonesia.

JOKOWI HARUS BERTANGGUNG JAWAB

Pemimpin yang besar adalah pemimpin yang hadir di depan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang besar, bukan malah lawatan keluar negeri atau malah umpet-umpetan menghidar dari kejaran liputan wartawan.

Jokowi merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala Negara, maka putusan yang tepat sebagai pimpinan tertinggi di Indonesia adalah berpegang teguh pada hukum dan perundang-undangan yang berlaku yang diabtraksi oleh nilai dan ajaran moral serta adat ketimuran.

Persoalan sekarang bukan perkara like or dislike, bukan sekedar melantik atau tidak melantik Kapolri, atau kriminalisasi atau tidak mengkriminalisasi KPK, tapi ini soal nasib penegakan hukum di Indoensia, sudah terlalu lama hukum Indoenesia ditegakkan dengan benang yang basah. Lagi pula kalau hanya pendekatan seperti ini ditempuh, haqul yakin ditahun-tahun mendatang akan ada persetruan antara KPK dan Polri kembali.

Namun, Jokowi meski hadir dalam wajah win-win solution, bila perlu sebagai pimpinan tertinggi Negara mengeluarkan senjata pemungkas, semacam dekrit Presiden, sebagai surat sakti yang memerintahkan; 1). Usut tuntas kasus rekening gendut Komjen Pol Budi Gunawan dan menghukum serta atau memecat semua pasukan yang terlibat dalam aliran dana tersebut. 2). Membuat tempo bebas tugas bagi pimpinan KPK yang terlibat dalam masalah hukum, yang tidak terbukti diberikan pembersihan nama baik dan kalau terbukti di hukum bedasarkan undang-undang berlaku, kemudian meminta DPR untuk segera mungkin melakukan seleksi pimpinan KPK baru.

Jokowi-JK tidak perlu khawatir, selagi Pemerintah berjuang untuk kepentingan bangsa dan Negara, seluruh rakyat Indonesia selalu berada di depan untuk memberi dukungan. Mumpung alam sedang bersahabat, apalagi Indonesia jarang mendapat kesempatan ruang dan kesempatan waktu untuk melakukan pembersihan terhadap alat-alat pembersih, seperti sapu pembersih yang digunakan sekarang sudah terlalu kotor utuk membersihkan kotoran, bahkan tempat yang bersih sekalipun akan dibuat kotor karena sapu yang digunakan untuk membersihkan sudah sangat begitu kotor.

Ini adalah kesempatan emas bagi institusi Polri dan KPK untuk melakukan bersih-bersih di rumah sendiri. Kalau tidak dari sekarang kapan lagi, kita tidak akan mendapat kesempatan yang sebaik ini untuk membuang kotoron di tempatnya dan mengangkat orang-orang yang bersih, baik dan bermoral untuk menegakkan hukum. Dan bahkan jika momentum emas ini dimanfaatkan, akan menjadi waktu yang tepat bagi Pemerintahan Jokowi-JK untuk membuktikan siapa dalang dan siapa wayang. Jika tidak, maka predikat Boneka yang sudah melekat sudah benar alamatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline