Lihat ke Halaman Asli

Tio Putra Herlambang

Mahasiswa Universitas Airlangga

Penolakan Tapera oleh Pengusaha dan Pekerja: Kawal Tuntas Tapera!

Diperbarui: 10 Juni 2024   20:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Saat ini sangat ramai sekali perbincangan mengenai TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat) yang saat ini digadang-gadangkan oleh pemerintah agar seluruh rakyat Indonesia bisa mempunyai rumah di saat masa tua. Lalu bagaimana dengan yang sudah punya rumah? Bagaimana dengan seorang pengusaha? Bagaimana dengan seorang pekerja swasta?

Sebelum masuk lebih dalam perlu kita ketahui bahwa Tapera cukup kontroversial sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ditandatangani Presiden pada 20 Mei 2024, program yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 ini bertujuan untuk membantu pembiayaan perumahan bagi pekerja kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Tanpa sosialisasi ke publik, tiba-tiba Tapera dijadikan "wajib". Setiap pekerja diwajibkan terkena potongan gaji sebesar 3 persen untuk program Tapera (terdiri dari 0,5% dari pemberi kerja dan 2,5% dari pekerja). Begitu informasi tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) muncul, publik langsung merespons negatif rencana pemerintah ini. Akan tetapi Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengatakan program iuran Tapera tidak akan ditunda dan akan tetap berjalan pada tahun 2027. Komisioner Badan Pengelola (BP) Tapera, Heru Pudyo Nugroho, mengeklaim Tapera penting diimplementasikan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan mencapai 9,95 juta anggota keluarga.

Isu dari TAPERA ini sangat memicu keresahan di masyarakat, terutama pengusaha dan pekerja. Dan kabarnya Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Apindo Daerah Khusus Jakarta menolak kebijakan tersebut karena merasa akan terbebani. DPP berasumsi bahwa program TAPERA ini tambah menyusahkan bagi rakyat-rakyat kecil yang berpendapatan minimum.

"Sebagai asosiasi yang menaungi dunia usaha, dunia usaha dan pekerja yang terdampak, kami hendak sampaikan untuk membatalkan. Kita menuntut untuk membatalkan implementasi Tapera sebagai kewajiban," kata Ketua DPP Apindo DKI Jakarta, Solihin, dikutip dari detikFinance, Senin (10/6/2024).

"Kami bersepakat untuk meminta pemerintah membatalkan implementasi Tapera kepada perusahaan dan pekerja swasta sebagai suatu kewajiban," ujar Ketua Apindo DKI, Solihin, dalam konferensi pers di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Apindo, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (10/6/2024), dikutip dari Kompas.com

Tak lupa juga Komisioner dari BP Tapera Heru Pudyo Nugroho berpendapat mengenai hal itu dan mengungkapkan bahwa  BP Tapera memahami keresahan masyarakat. Dengan hal itu maka, BP Tapera akan mempertimbangkan pendapat dari masyarakat dalam menentukan regulasi yang bisa diterima oleh masyarakat.

Selain itu, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mempertegas kembali kalau kebijakan baru TAPERA yang melibatkan pekerja swasta, regulasi yang telah dibuat harus dipikirkan kembali oleh pemerintah. Menurutnya, pemerintah akan mendengarkan pengusaha yang keberatan dan memiliki kondisi bisnis yang tidak memungkinkan. Apalagi sekarang kebijakan Tapera masih dalam proses simulasi dan perencanaan, sehingga masih mungkin ada perubahan.

"Seyogyanya iuran Tapera ini tidak melibatkan pengusaha. Jadi itu melibatkan sebagai kesadaran dari kerja untuk masuk sebagai kepesertaan Tapera. Oleh karena itu, konsep dari Tapera ini harus disosialisasikan dengan baik-baik," imbuhnya. Dikutip dari Kompas.com

"Kalau memang pihak pengusaha itu (merasa) berat, maka saya yakin pemerintah akan mendengarkan itu. Dan seyogyanya iran Tapera ini tidak melibatkan pengusaha, jadi itu melibatkan sebagai kesadaran dari kerja untuk masuk sebagai kepesertaan Tapera," jelasnya. Dikutip dari Kompas.com

Heru juga mempersilakan masyarakat untuk beraspirasi ataupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jika ingin mengubah undang-undang. Menurutnya memang ada permasalahan terkait regulasi yang dibuat, sehingga diperlukan untuk mengubah regulasi ataupun undang-undang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline