Lihat ke Halaman Asli

Polemik Pagu Pajak di Palembang: Tantangan dan Kebijakan Baru

Diperbarui: 26 Mei 2024   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Palembang, 20 Mei 2024 -- Kota Palembang tengah dilanda polemik terkait penetapan pagu penerimaan pajak untuk tahun 2024 yang mencapai Rp1,148 triliun. Kebijakan ini menuai berbagai reaksi dari kalangan politisi dan masyarakat setempat. Penetapan pagu ini mencakup berbagai jenis pajak, termasuk pajak tenaga listrik, perhotelan, parkir, reklame, air tanah, dan sarang burung walet. Beberapa pajak mengalami kenaikan, seperti pajak reklame yang naik menjadi Rp25,5 miliar dari sebelumnya Rp20 miliar, dan pajak air tanah yang meningkat menjadi Rp68 miliar dari Rp57 miliar pada tahun sebelumnya. Di sisi lain, pajak parkir turun drastis dari Rp26 miliar menjadi Rp9 miliar.

Isu ini menjadi bahan perdebatan panas antara Pemerintah Kota Palembang dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). DPRD mempertanyakan prioritas alokasi anggaran yang dianggap kurang transparan dan tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan mendesak masyarakat. Ketua DPRD Kota Palembang, Andi Setiawan, menekankan bahwa anggaran seharusnya lebih banyak dialokasikan untuk peningkatan layanan publik, seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan. "Kami menginginkan anggaran yang lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat, bukan hanya pembangunan infrastruktur semata," ujar Andi.

Menanggapi hal tersebut, Wali Kota Palembang, Dr. Ahmad Ramli, menyatakan bahwa kebijakan pajak yang ditetapkan sudah sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD). Ia menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kota dalam jangka panjang. "Infrastruktur yang kuat akan menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja baru.

 Ini adalah langkah strategis untuk masa depan Palembang," jelas Ahmad Ramli. Masyarakat Palembang pun terbagi dalam menanggapi isu ini. Sebagian mendukung langkah DPRD untuk menekankan layanan publik, sementara yang lain mendukung visi jangka panjang Pemkot yang fokus pada pembangunan infrastruktur. Seorang warga Palembang, Yulia, menyatakan, "Kita butuh rumah sakit dan sekolah yang lebih baik, tetapi kita juga tidak bisa mengabaikan kebutuhan akan jalan yang memadai untuk mendukung bisnis lokal."

Pengamat politik lokal, Dr. Rizal Mahendra, melihat konflik ini sebagai cerminan dari kurangnya komunikasi dan koordinasi antara eksekutif dan legislatif. "Kedua belah pihak harus lebih terbuka dalam dialog dan mencari solusi yang terbaik untuk kepentingan masyarakat. Transparansi dan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan sangat penting untuk menghindari konflik semacam ini," ungkapnya.

Untuk menyelesaikan kebuntuan ini, Pemkot dan DPRD sepakat untuk mengadakan pertemuan lanjutan yang melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk perwakilan masyarakat dan pakar independen. Diharapkan pertemuan ini dapat menghasilkan solusi yang adil dan tepat guna untuk semua pihak.

Isu pengelolaan anggaran ini tidak hanya berdampak pada pembangunan kota, tetapi juga mencerminkan dinamika politik lokal yang memerlukan pendekatan lebih kolaboratif dan inklusif. Dengan meningkatnya keterlibatan publik dalam proses politik, diharapkan keputusan yang diambil akan lebih mencerminkan aspirasi dan kebutuhan warga Palembang. Dalam situasi politik yang dinamis seperti ini, penting bagi semua pihak untuk menjaga komunikasi yang baik dan bekerja sama demi kesejahteraan bersama. Semoga perdebatan ini berakhir dengan solusi yang konstruktif dan membawa manfaat bagi seluruh masyarakat Kota Palembang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline