Lihat ke Halaman Asli

Iin T Wahyuni

Praktisi Pendidikan Anak Usia Dini, suka menulis dan membaca

Keajaiban Malam (Bagian-2)

Diperbarui: 2 April 2020   23:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jadi secara biologis dan kimiawi Allah telah menyetel raga seorang anak untuk siap 'diinstal' jiwa dan pikirannya pada malam hari? Apa pun yang terserap oleh mereka pada saat itu, dengan mudah masuk dalam alam bawah sadar mereka. Memberi bentuk pada motivasi perilaku dan cara berpikirnya di kemudian hari. 

Jadi ada banyak peluang emas bagi proses kepengasuhan ya? Kenapa rata-rata orang tua malah melewatkan peluang itu? Malah mengajak mereka larut dalam acara teve atau tontonan hiburan  dari  youtube. Malah menakut-nakuti, kalau tidak bisa dibilang secara halus mengusir mereka agar segera berangkat tidur sendirian. Penyebabnya sebagian besar adalah karena STIGMA BUDAYA yang terkontaminasi oleh klenik.

Malam sering dikaitkan dengan bahaya dan kejahatan karena koneksi psikologis dari kegelapan malam yang meliputi semuanya dengan ketakutan akan halangan yang tidak diketahui dan kegelapan dari sistem sensorik utama (indera penglihatan). Malam hari secara alami dikaitkan dengan kerentanan dan bahaya bagi kelangsungan hidup fisik manusia. Penjahat, binatang dan bahaya potensial lainnya dapat disembunyikan oleh kegelapan. Pertengahan malam memiliki kepentingan khusus dalam imajinasi dan budaya manusia (Wikipedia).

Koneksi psikologis di atas  memperkuat stigma budaya yang memahamkan bahwa malam hari adalah jatah bagi   alam supranatural. Gelapnya malam seketika dikaitkan dengan kekuatan magis yang bergentayangan. Ke sanalah doktrinasi terhadap anak diarahkan. Ada kunang-kunang datang dengan kerlap-kerlip cahayanya dibilang binatang jelmaan kuku orang mati.  Mendengar lolongan srigala di malam hari langsung dikaitkan dengan isyarat munculnya kuntilanak atau pocong. Kelelawar nyasar ke rumah diumpat sebagai ',keblek' alias hantu pencuri beras. Mengkerut sudah insting ilmiah anak, tergantikan atmosfer horor yang menderaskan adrenalin.

Jika orang tua ingin memberdayakan waktu berlian kepengasuhan di malam hari, tak ada pilihan lain kecuali meninggalkan stigma budaya tersebut dan kembali pada ajaran Islam yang mulia. Waktu malam dimuliakan Allah dengan  menjadi saksi banyak peristiwa agung yang dialami para utusan-Nya. 

Nuzulul Qur'an terjadi pada suatu malam di bulan Ramadhan. Peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad Saw juga terjadi malam hari. Bagaimana dengan yang dialami Nabi Musa 'alaihissalam?  QS. Thoha ayat 10-14 mengisahkan tentang pertemuan Nabi Musa dengan Allah di lembah suci Thuwa untuk menerima perintah-perintah-Nya dan pengukuhan sebagai Rasul-Nya. Ternyata peristiwa agung itu terjadi pada suatu malam yang dingin saat Nabi Musa meninggalkan Madyan menuju Mesir.

Banyak ulama berpendapat bahwa Allah bersumpah dengan nama makhluk-makhluk-Nya   untuk menunjukkan sempurnanya kemuliaan dan kekuatan-Nya. Dan  segala sesuatu yang digunakan  Allah untuk  bersumpah pastilah  memiliki KEDUDUKAN PENTING dalam kehidupan manusia. Begitupun saat Allah bersumpah dengan menggunakan waktu malam dan segala sesuatu yang berkaitan dengan malam (di antaranya QS. Al lail 92:1, QS. Ath thoriq 86: 1-4, QS. Al Insyiqoq 84: 17-20). Dengan sumpah-sumpahnya itu Allah mengisyaratkan keistimewaan dan  kemuliaan waktu malam hari untuk menarik perhatian manusia akan keutamaannya.

Siang hari anak-anak telah sibuk belajar dengan guru di sekolah. Sore hari mereka menghabiskan waktu untuk kembali belajar dengan guru les atau guru mengaji di TPQ. Tidak bisa dipungkiri, hampir seluruh pembelajaran itu menggunakan dominasi  otak kiri. Siapa bilang orang tua hanya memperoleh waktu sisa-sisa untuk meneguhkan nilai-nilai dan ajaran yang diterimanya seharian? Justru beberapa saat sebelum anak  tidur itulah waktu premiumnya. Frekuensi gelombang otak anak yang berada pada gelombang pikiran bawah sadar dan pengaruh hormonalnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, justru membuat pikiran anak tengah rileks namun sangat kreatif dan inspiratif. Bukankah ini justru  memungkinkan orang tua  untuk menempuh pendekatan yang berbeda lagi lebih menyenangkan bagi anak?

Bingung harus bagaimana? Berhentilah berkeinginan menjadi pengajar yang menggurui. Jadilah 'trainer yang kreatif' dengan menjelma menjadi sahabat anak yang pandai menghibur dan tak segan mengajaknya berpetualang di alam imajinatif yang mengasyikkan. Karena imajinasi tidak selalu bermakna kebohongan yang kosong. Hal itu diperlukan saat penyampaian isi obrolan harus ditransformasi  menjadi area yang bisa dikunyah menjadi gambaran visual dalam otak anak.

Di sekolah  hampir semua materi secara penuh disampaikan dalam bentuk rumus dan teori yang melangit. Maka giliran orang tua memberikannya dalam versi keseharian yang segar, ringan dan membumi saat ia mengemas materi terkait dalam bentuk cerita sebelum tidur.  Saat di TPQ anak telah banyak belajar tentang cara melafalkan dan menghafal ayat-ayat qauliyah.  Maka saat malam tiba orang tua memiliki kesempatan untuk membawa anak-anaknya meneguhkan semua itu dengan mengajak mereka menadabburi ayat-ayat qauniyah di alam semesta dengan melesatkan daya imajinasi dan kreatifitasnya. Bukankah daya jangkau pikiran takkan  bisa dibatasi oleh waktu dan tembok penghalang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline