Bugis adalah salah satu suku yang terdapat di Indonesia. Suku Bugis lebih tepatnya terdapat di kota Makassar Sulawesi Selatan. Suku Bugis dalam bahasa daerah bugis di sebut To Ogi. Karena suku Bugis terkenal dengan tradisi merantau maka To Ogi terdapat di berbagai daerah bahkan sampai ke mancanegara. Salah satu daerah yang di datangi dan menetap adalah kota Pagatan Tanah Bumbu Kalimantan Selatan.
Menurut Lontara Kapiten La Mattone, seorang mentri kerajaan Pagatan dan Kusan yang di tulis pada tanggal 2 Jumadil Awwal 1285 Hijriyah atau 21 Agustus 1868 yang menceritakan bahwa asal mula Pagatan dibuka dan sampai berkembang pesat seperti sekarang dipelopori oleh seorang Hartawan dari Tanah Bugis Wajo, yang bernama Pene Dekke, yang tidak lain adalah kakek dari Raja Pagatan Pertama yang memimpin saat itu.
Pene Dekke atau Poewono Dekke adalah seorang saudagar bugis dan juga seorang hartawan yang terkenal dan berasal dari Wajo pada abad ke 18. pada pertengahan abad ke 18 di dirikanlah sebuah kerajaan kecil Pagatan atas ijin dari Sultan Banjarmasin yang saat itu berkuasadan hampir menguasai daratan Kalimantan Selatan.
Setelah mendapatkan ijin dari Sultan Banjar, maka di bukalah perkampungan didaerah tersebut bersama anak buah Pene Dekke. Saat itu daerah Pagatan masih bernama Tanah Bumbu dan sudah di diami oleh masyarakat banjar yang bekerja sebagai pencari rotan atau memagat (memutus/memotong).
Tanah Bumbu atau sekarang di kenal dengan sebutan Pagatan dulunya adalah daerah kekuasaan Banjar, maka tinggal lah seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dalam penyebaran ajaran agama islam saat itu, iyalah Syekh Abu Thalhah bin Syekh Mufti H.M As'ad seorang cucu dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Tidak lama kedatangan beliau ke Pagatan salah satu saudara beliau menyusul dan ikut serta dalam penyebaran ajaran Islam. Beliau adalah Syekh H.Muh. Arsyad Lamak dan beliau meninggal pada tahun 1850 dan di makamkan di Mattone Kampung Baru, Tanah Bumbu.
Makam Syekh H.Muh. Arsyad Lamak sampai sekarang masih sering di kunjungi masyarakat. Karena makan beliau di buat seperti kubah, dan orang setempat menyebutnya Kubah Pagatan. Kubah Pagatan biasanya di jadikan salah satu wisata religi atau tempat jiarah bagi masyarakat setempat untuk mengenang beliau.
Raja Pagatan I yang saat itu masih berumur 15 tahun dan baru di khitan dan dikawinkan, telah mendapat gelar dari Penembahan Batu sebagai Kapiten Laut Pulo memerintah sejak tahun 1750 hingga 1830 walaupun itu hanya sebagai simbolik sampai umur Raja Pagatan I cukup dan mampu memimpin kerajaan. Hal itu terjadi karena mereka menggunakan Hukum Adat Bugis.
Kemudian dilanjutkan oleh La Palebbi dengan gelarnya Raja Abdurrahman sebagai Raja II (1830-1838). Kemudian kepemimpinan kerajaan berpindah tangan kepada La Palliweng atau Raja ke III (1838-1855).
Selanjutnya kerajaan di pimpin pada periode selanjutnya oleh La Mattunru atau Raja Abdurrahim sebagai raja ke IV pada tahun 1855 hingga 1863. La makkarau sebagai raja ke V (1863-1871). Isengeng atau Daeng Makkau sebagai Raja ke VI (1875-1883). Abdul Jabar sebagai Raja ke VII (1871-1875).
Terlepas dari sejarah kekerajaan Suku Bugis yang pernah berkuasa di Pagatan, adat istiadat yang mereka miliki dan bawa ke Pagatan tetap dipegang erat, Suku Bugis juga terkenal dengan ritual releginya dan dikemas dalam bentuk kesenian tradisional yang disebut Massukkiri atau pelantunan riwayat Maulid Nabi Muhammad SAW, Shalat hingga Asmaul Husna dengan menggunakan alat rebbana jenis Terbang berukuran besar secara kolosal.