Lihat ke Halaman Asli

Tinta Digital

Akun ini saat ini bersifat pribadi dan dimiliki oleh satu orang

Rumah Lanting, Kilas Kronologi dan Eksistensinya Saat ini

Diperbarui: 6 Januari 2019   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah-Rumah Lanting yang terdapat di sekitar wilayah perairan Sungai Martapura. (sumber : kumparan.com)

"Di atas sungai maapung rumah kayu bahatap daun, dinding basusun sirih palindung, panaduh pacang hidup jukung di higa bajarat intang tanjak (di atas sungai ada rumah kayu terapung, atapnya daun rumbia, dinding bersusun sirih, di sisi rumah ada sampan terikat tiang)" . Anang Ardiansyah -- Manapuk Banyu di Apar

Berbicara seputar budaya Banjar pasti tidak akan lepas dari kehidupan masyarakatnya yang mayoritas bermukim di pinggir sungai. Interaksi antar sesama masyarakat, perniagaan, bahkan pelaksanaan pemerintahan banyak dilakukan dan terjadi di pinggiran sungai. Hal inilah yang melatarbelakangi sebutan untuk budaya Banjar khususnya kota Banjarmasin sebagai "Kota Seribu Satu Sungai". 

Jadi, tidak heran jika di Banjarmasin khususnya di daerah muara Sungai Martapura (Kuin, Alalak, Banua Anyar, dan sekitarnya) banyak ditemui pemukiman-pemukiman pinggir sungai bahkan istana Raja Banjar peninggalan masa kerajaan Sultan Suriansyah yang berada di Kuin Selatan dibangun di pinggir sungai. Ini menandakan bahwa seluruh kehidupan kapital masyarakat pada masa itu terjadi di sungai dan sungai menjadi jalur transportasi utama bagi masyarakat Banjar tempo dulu.

Tidak heran jika banyak ditemui berbagai jukung (alat transportasi khas perairan yang memakai dayung dan sekarang beralih ke pemakaian mesin) dan rumah-rumah adat masyarakat yang khas dan sesuai dengan keadaan geografi disana, salah satunya yaitu Rumah Lanting.

Rumah Lanting, atau dapat disebut juga rumah geser, adalah rumah terapung dipinggir sungai yang tidak permanen seperti halnya rumah panggung yang juga rumah adat khas Banjar, yang rumahnya menancapkan tiang ke dasar sungai. Rumah Lanting dibuat dengan prinsip yang sama dengan perahu pada umumnya, dapat terapung di atas air dan dapat berpindah tempat sewaktu-waktu melalui arus sungai laksana jukung atau perahu agar memudahkan mobilitas rumah jika sewaktu-waktu terjadi banjir dan menjadikan rumah lanting sebagai rumah yang portable atau dapat dengan mudah berpindah-pindah.

Seperti halnya perahu, rumah lanting biasanya juga dikaitkan dengan tali tambang ke pancang besi atau pancang ulin di pinggiran sungai jika ingin berdiam dan bermukim. Rumah yang dibangun diatas pelampung yang berbahan dasar kayu yang ringan (sekarang ini banyak memakai paring, istilah Banjar untuk penyebutan bambu) tersebut ternyata memakai Kayu Ulin sebagai bahan untuk membuat lantai atau yang biasanya disebut sebagai gelagar  dan dinding yang biasanya disebut tawing juga memakai kayu ulin untuk rumahnya, namun kebanyakan tawing rumah lanting sekarang umumnya memakai kayu biasa karena keterbatasan persediaan kayu ulin di Kalimantan. 

Karena itulah rumah lanting dapat bertahan hingga 50 tahun. Pada umumnya, rumah lanting yang ada di Banjarmasin memiliki ukuran berkisar antara 4 x 3 meter hingga 5 x 4 meter sesuai dengan keperluan dan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah. Di sekitar rumah-rumah lanting lumrah ditemui titian-titian (jembatan kecil di pinggiran sungai yang biasanya terbuat dari kayu ulin atau pohon kelapa) yang berfungsi sebagai penghubung dari rumah lanting yang berada kurang lebih 2 sampai 3 meter dari siring sungai ke daratan, dan dijumpai pula warung-warung lanting disekitar titian tersebut yang menjual makanan-makanan  khas banjar.

Atap rumahnya terbuat dari daun rumbia yang sekarang beralih ke atap seng. Rumah lanting dapat ditemui di daerah Seberang Mesjid, Pasar Lama, Sungai Jingah, Sungai Lulut, Alalak, Pengambangan, dan Banua Anyar. Daerah-daerah tersebut dulunya adalah jalur transportasi dan perdagangan masyarakat yang pada masa kejayaannya sangat ramai dengan hiruk pikuk tranksaksi perdagangan dan hilir mudik jukung bahkan speedboat yang mengantarkan penumpang maupun barang logistik dari satu daerah ke daerah lainnya.

Inilah yang menjadikan rumah lanting disebut sebagai "Rumah Bergoyang" karena sering terkena ombak sungai yang terbentuk dari jukung-jukung dan speedboat yang lewat dan pasang surut air sungai yang terjadi tiap bulan, dan menyebabkan rumah lanting seakan "bergoyang" mengikuti derusan ombak yang menghantam rumah tersebut sehingga tidak mudah karam dan terendam air sungai, lain halnya dengan rumah yang berada di daratan pada umumnya yang mudah sekali ambruk ketika diterpa banjir.

Keunikan arsitektur Rumah Lanting menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung maupun masyarakat lokal untuk melihat bahkan mempelajari rumah lanting.  Ragam budaya yang terkandung dalam intrinsik sejarah rumah lanting dan hubungannya dengan kehidupan pinggir sungai di Banjarmasin dan sekitarnya menjadi salah satu khazanah tersendiri untuk mengulas lebih dalam sejarah kultural dan jejak rekam perkembangan kota berbasis lahan rawa basah tersebut.

 Namun, kebijakan pemerintah kota Banjarmasin tentang relokasi dan rehabilitasi rumah lanting tidak berjalan seperti yang diharapkan dan seakan "menghapus"keberadaan rumah lanting di pinggiran sungai-sungai yang ada di Banjarmasin. Penggusuran rumah lanting yang terjadi di berbagai daerah pinggir sungai seperti yang terjadi di daerah Sungai Baru yang dijadikan siring kota pada tahun 2015 hingga rehabilitasi warga rumah lanting di beberapa daerah pada tahun 2016 sampai pertengahan 2017 lalu menandakan bahwa pemerintah kota berupaya "merelokasi" adat dan budaya khas Banjar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline