Kenakalan remaja terlebih majunya teknologi informasi di era informatika ini memang meresahkan.
Para pelajar di generasi sekarang dengan mudah dan cepat dapat mengakses ribuan informasi baik yang benar atau yang salah dari media sosial. Tidak sedikit informasi tersebut yang bermuatan atau kontennya belum sepatutnya dikonsumsi oleh para remaja.
Hal ini yang tidak mudah untuk dibendung karena pengawasan orang tua tidak bisa seratus porsen 24 jam mengawasi, apalagi jika anak tersebut telah memiliki telepon pintar. Orang tua dapat meminimalisir arus ini dengan memberikan telepon pintar pada anak di usia yang pas atau usia yang dapat diberikan pengertian dan batasan mana yang wajar dikonsumsi untuk umurnya dan mana yang tidak wajar dikonsumsi untuk umurnya.
Konsumsi konten yang tidak tepat atau tidak sesuai umur dapat memicu lahirnya prilaku menyimpang dari para remaja. Walhasil para remaja yang seharusnya dapat berkegiatan positif malah dapat berpikir untuk melakukan hal negatif.
Misal konten yang berkaitan dengan figur geng motor besar di Amerika Serikat yang senang konvoi lalu melakukan kekerasan (walau tidak semua seperti ini) pada saat mampir di sebuat toko atau tempat singgah.
Bisa pula, video tutorial yang berisikan keisengan remaja dengan tanpa alasan merusak kotak surat di depan rumah tetangga atau rumah yang ia lewati pada malam hari. Tontonan seperti ini sering dijumpai di film-film tahun 70-80an tentang kehidupan remaja Amerika Serikat yang menggadang-gadang Freedom, Young and Freedom, Useless Young. Sebut saja film-film seperti American Grafitti, Deezer and Confused, dsb. Bisa pula tontonan band-band rock papan atas yang menasbihkan sex, drug, and alcohol.
Tontonan atau konten berisikan hal-hal di atas sebenarya tidak menjadi masalah lebih jauh apabila diberikan pengertian akan konteks kejadian sebagai pembelajaran. Hal itu akan lebih baik dipahami oleh orang dewasa atau remaja usia dua puluhan yang memiliki ketertarikan atas kajian Amerika sebagai data pembelajaran. Bukan sebagai contoh identitas baru.
Informasi itu akan sama sekali berbeda apabila diserap oleh anak kecil, anak usia belasan tahun yang baru memasuki fase remaja. Mereka dapat salah tafsir dan mencoba menemukan dirinya atau mencerminkan apa yang ia lihat, lalu menirunya sebagai identitasnya yang baru.
Hal itu juga yang dapat memicu kenakalan remaja di Yogyakarta. Mulai dari tawuran antar sekolah, konsumsi alkohol berlebih di bawah umur, hingga klitih.
Untuk kasus klitih, kita setidaknya dapat melihat bahwa pengaruh konten kekerasan yang direproduksi oleh televise, film-film remaja Amerika, youtube, intagram, atau kanal-kanal lain dapat menciptakan abu-abu dalam penyerapan identitas diri dan keberadaan diri.
Dari krisis identitas tersebut lahirlah suatu penyimpangan prilaku sebagai pengganti keraguan eksistensi identitas dirinya sebagai remaja baru, anak baru gede yang mencoba menirukan identitas baru sebagai pencipta kekerasan.