Lihat ke Halaman Asli

Rindu Ingin ke Sana, Generasi 2000an Mana Paham

Diperbarui: 3 November 2020   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Dokpri

Musim tanam telah tiba. Adalah surganya para petani. Kendatipun kali ini sangat terlambat. Sebab, di sini hujan seperti enggan menjenguk mayapada. Jatuhnya masih bisa dihitung dengan jari.

Tapi harapan tetap tumbuh. Seperti kuncup-kuncup cinta yang pelan-pelan menyembul di tanah jagung. Helai-helainya tetap tabah menjunjung mentari yang terus menyangrai musim. Setabah hati pemilik dada-dada lusuh berpeluh itu.

Senang membayangkan masa-masa dulu. Waktu masih boca. Menggendong gembira di atas pematang. Bermain bersama sahabat. Bertukar cerita, dan mendongeng di bawah atap alang-alang. Bergantian menebak teka-teki.

Penuh tawa di balik rintik hujan. Berlarian menangkap belalang dengan senjata yang dirakit dari bambu. Sesekali diteriaki Ema dan Bapa, bila ada yang menangis. Ada rindu ingin kesana. Menjadi boca kembali. Namun sayang waktu tak mau menunggu lama. Terus melaju. Tak dapat diputar kembali.

Zaman ini, ketika musim liburan sekolah tiba, tidak banyak yang merindukan asyiknya menghabiskan waktu di kebun. Sebab, mereka lahir di zaman yang telah berbeda. Gedget telah menyita waktu. Menjadi teman paling karib. Atau rekreasi ke pantai, dan tempat lainnya.

Dulu, setelah liburan, kebun adalah tempat paling nyaman melabuhkan letih dari semua aktivitas sekolah. Ema dan Bapa adalah orang pertama yang mengecup damainya hari baru. Menghirup aroma tanah yang dibasahi embun pagi.

Sebelum mentari bangun membuka jendela hari, Ema telah lebih dulu melingkar di bawah tanur tungku. Tak lama, bubur dan teh hangat sudah menanti. Sedang Bapa membersihkan tofa, cangkul, parang dan peralatan lain yang belum sempat dicuci saat pulang soreh hari.

Setelah sarapan pagi, Bapa memikul peralatan kebun. Ema dengan penuh keseimbangannya menjunjung peralatan masak seadanya. Di tangannya ada jeriken berisi air. Satu keluarga ramai-ramai berjalan seperti berbaris. Seperti mengukur jalan setapak menuju kebun. Di sanalah aktivitas hari itu dimulai.

Sesekali anak-anak diminta untuk membantu mebersikan ladang. Tempat tumbuhnya benih-benih cinta dan kehidupan. Terkadang anak-anak dibiarkan memilih untuk bermain. Memasang ranjau pipit, dan berburu belalang adalah hal yang sangat menyenangkan.

Uh, rindu kebersamaan di bawah pondok. Satu keluarga membagi rasa saat makan siang. Anak-anak berebut lauk masakan Ema yang paling lezat apa bila dibandingkan dengan restoran manapun.

Lezat memang, di saat rintik gerimis sedang turun. Belalang dicampur kelapa dalam sepotong bambu, yang dipanggang bara api. Aromanya aduhai. Master Chef mana yang bisa menandinginya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline