Lihat ke Halaman Asli

Dari Penindasan Suami ke Penindasan Majikan

Diperbarui: 12 Agustus 2016   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Tini Sastra

Inilah nasib seorang perempuan. Beberapa perempuan. Bahkan banyak perempuan. Hanya semoga tidak semua perempuan. Meski begitu soal nasib itu toh layak menjadi keprihatinan, bahkan perhatian, atau setidaknya pemikiran semua perempuan. Tentu saja perempuan yang punya sense of solidarity pada nasib sesama kaumnya.

Sebut namanya Srikandi. Seperti perempuan lain di jaman ini, ia juga ingin menikmati kebebasan dan menikmati hak-haknya. Dari hak yang mendasar seperti hak hidup, hak mempertahankan hidup, hak merasa aman dalam hidup, sampai hak ekonomi, hak sosial, hak politik dan hak aktualisasi diri. Bagi Srikandi, sebagai perempuan kelas bawah atau grassroot,ia tak menuntut hak yang muluk-muluk. Ia hanya ingin punya kesempatan hidup secara layak. Atau minimal dapat bekerja untuk memennuhi kebutuhan hidup. 

Jauh dari pikirannyaniatnya bekerja untuk sebuah istilah ‘aktualisasi diri’ seperti para perempuan kelas menengah terpelajar yang dasar filosofinya bekerja di sektor publik adalah konsep kesetaraan. Srikandi bekerja karena faktor keterpaksaan kondisi. Dasar filosofinya barangkali adalah darurat. Darurat karena dia bekerja demi kelangsungan hidup, baik untuk dirinya maupun anak-anaknya.

Entah kebetulan atau takdirnya yang memang buruk, atau salahnya sendiri dalam memilih jodoh, Srikandi harus hidup dengan suami yang egois, menang sendiri dan tak betanggung jawab. Bahkan terang-terangan ada unsur penindasan dalam kehidupan bersuami istri. Bagaimana tidak, suaminya yang tidak pernah memberi nafkah yang cukup itu, tetap saja merasa berkuasa atas istrinya, berhak atas hidup mati istrinya, berhak mengatur arah setiap langkahnya, berhak atas pelayanan, pengabdian, dan kesetiaan istrinya. Penindasan itu tak jarang dibuktikan dengan ‘kekerasan nyata’ ketika Srikandi bilang berani ‘tidak’ saat suaminya berkata ‘harus’. Entah berapa kali sehari Srikandi harus menerima tamparan tangan kekar suaminya.

Itulah yang membuat Srikandi lari dari suaminya. Tidak ada pengaruh dari siapa pun. Tidak ada provokasi dari siapa pun. Ia benar-benar disadarkan oleh kondisinya sendiri. Mungkin dia termasuk perempuan cerdas. Karena hanya perempuan cerdaslah yang punya harapan. Dan Srikandi lari ke sebuah kota besar ditemani harapan untuk menemukan kehidupan yang lebih manusiawi. Meski untuk itu ia harus membebani orang tuanya dengan 2 anak kecilnya. 

Sebenarnya ia juga tak pernah berniat menjadi istri yang ‘durhaka’ yang  terpaksa meninggalkan suaminya. Coba, seandainya suaminya lebih bisa menghargai dan memperlakukannya dengan baik, tentu ia akan tetap mencoba bertahan dalam memberikan pengorbanan dan kesetiaan pada suaminya yang punya keterbatasan ekonomi itu. 

Barangkali di sanalah uniknya psikologis laki-laki. Mestinya dengan menyadari kalau dirinya tidak dapat memberi nafkah materi yang cukup pada istri dan anak-anaknya, maka harusnya ia berusaha memberi ‘kompensasi’ kasih sayang yang lebih atau perlakuan yang yang lebih baik. Namun, yang terjadi pada suami Srikandi, ia justru ingin menunjukkan bahwa meski tak memberi nafkah, ia tetap lelaki dan suami yang berkuasa atas istrinya, yang berhak ditaati dan dipatuhi. Bahkan berhak memperlakukan istrinya semaunya karena dulu telah ‘membelinya’ dengnan mahar yang tak seberapa itu.

Lalu apa yang terjadi dengan Srikandi yang mencari kerja di kota dengan hanya modal nekad dan tekad, pengalaman dan pendidikan pun terbatas. Dapatkah ia merubah harapannya menjadi kenyataan, hidup yang lebih layak dan manusiawi? Dengan bantuan seorang teman yang lebih dulu bekerja di sana, Srikandi menemukan seorang majikan. Srikandi bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Ternyata ‘kebebasan’ yang dirasakan Srikandi dari kondisi pennindasan itu hanya sesaat, yaitu ketika ia dalam perjalanan dari rumah suaminya mennuju rumah majikannya. Ya, hanya dalam perjalanannya itulah Srikandi menikmati  kebebasannya Seampai di rumah majikan, ia sudah dinanti oleh ‘penindasan’ jenis baru yang mungkin tak pernah disadari atau terpikirkan oleh Srikandi. 

Hanya dengan membayar sejumlah uang yang mungkin kurang dari cukup, majikannya merasa sudah memiliki dan berhak atas segenap tenaga yang ada dalam diri Srikandi. Berhak mengatur dan memerintah sesuai dengan kebutuhan keinginannya. Berhak atas pengabdian dan pelayanan Srikandi. Bahkan berhak atas 24 jam waktu yang dimiliki Srikandi dalam sehari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline