Lihat ke Halaman Asli

APAKAH KITA LEBIH BAIK DENGAN REFORMASI?

Diperbarui: 30 Mei 2016   13:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beruntung, saya bisa ikut menjadi saksi atas perubahan revolusioner yang terjadi di Negara Republik Indonesia yang sangat saya cintai ini. Era reformasi yang terjadi pada tahun 1998 dianggap sebagai masa Indonesia memasuki era baru, era PERBAIKAN dari segala kesalahan, penyakit dan borok masa lalu baik di orde lama maupun -dan terutama- dari orde baru. Perbaikan yang digagas para pahlawan reformasi tentu saja saya asumsikan sebagai upaya perbaikan bagi bangsa yang lebih bermartabat, bagi generasi yang lebih bernas, beretika dan jujur santun.

Saya termasuk anggota masyarakat yang sangat antusias, menunggu, memperhatikan dan menonton apa yang terjadi pada bangsa ini. Tentu saja melalui kacamata saya sebagai seorang ibu rumah tangga -yang sedang menjaga dan mengasuh 3 orang anak- dan seorang aparatur negara dengan 25 tahun masa bertugas, 5 tahun diantaranya sebagai aparatur daerah -merupakan hasil salah satu agenda refromasi yaitu otonomi daerah-. Harapan yang sangat dalam membuat saya tak henti mengikuti setiap detak perkembangan reformasi.

Dari 6 agenda perubahan reformasi, maka KETERBUKAAN INFORMASI adalah yang paling kencang gaungnya, menembus hingga ke sendi-sendi bangsa, merasuk hingga ke dalam tulang, mengunggah hingga ke tempat tidur, mengganggu hingga ke anak-anak kita yang baru lahir. Terlebih karena proses ini didukung penuh oleh era globalisasi juga sebagai efek pemasaran produk teknologi informasi yang melesat tak terbayangkan di waktu yang bersamaan. "Ketertutupan informasi" di masa orde baru seperti gadis cantik yang menggunakan hijab, kita hanya dapat melihat wajahnya, mata, hidung, bibir dan pipinya, selainnya yang kita lihat adalah selubung. Betul bahwa karena menggunakan selubung, maka kita tidak mengetahui ada penyakit apa di tubuh kita, bisa jadi kita sebenarnya sedang sakit parah, namun masyarakat tidak mengetahuinya karena yang nampak hanyalah wajah cerah. Namun sebaliknya selubung menutup semua aurat yang bisa mendatangkan syahwat, selubung melindungi kita dari timbulnya keinginan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kita.

Di jaman reformasi ini, maka  informasi -apapun- dibuka sedemikian terbukanya sehingga seperti melihat seorang gadis yang telanjang. TELANJANG BULAT! Sehingga selain kita bisa melihat dengan jelas sejelas-jelasnya borok-borok dan penyakit yang menempel di tubuhnya, maka kita juga bisa melihat sejelas-jelasnya seluruh auratnya. Bisa melihat borok, tentu saja memudahkan kita mendiagnosa, menentukan penyakit dan kemudian mengobatinya. Namun ketelanjangan ternyata juga memperlihatkan semua aurat. Yang namanya aurat tentu saja mendatangkan syahwat. Yang namanya syahwat  tentu saja harus disalurkan, tak peduli dengan caranya halal ataupun haram. Yang halal bernama pernikahan, yang haram bernama perzinahan, yang menggunakan unsur paksaan namanya pemerkosaan. KETERKEJUTAN kita semua menghadapi ketelanjangan itu nyaris seperti penduduk sebuah  kampung yang diserbu banjir bandang besar, banjir bandang yang menghanyutkan sebagian besar niral-nilai moral yang dulu kita junjung dan jadikan sebagai pedoman hidup. Bagaimana kondisi kampung yang diserang banjir bandang? Porak poranda, tak ada lagi yang tersisa…..

Apakah memang informasi harus dibuka seperti membobol bendungan? Sebagai ibu rumah tangga sungguh saya tidak berdaya. Tugas menjaga dan mengasuh anak menjadi sangat sulit. Teknologi informasi yang berkembang menjadi sangat super tak terelakkan, dan keterbukaan informasi yang dibuka pemerintah dihadapi masyarakat dengan gagap. Sebagian orang tua seumuran saya memasuki era teknologi informasi ini setengah hati, karena kemampuan sudah sangat berkurang dan kecerdasan sudah tinggal sisanya, sementara anak-anak kita sedang tumbuh dalam ego rasa ingin tahu yang sangat besar, sehingga boro-boro bisa membendung agar informasi tak masuk dengan kasar ke hadapan anak-anak kita, kita bahkan menjadi manusia “gaptek” yang ke-gaptek-an kita jadi bahan tertawaan anak-anak kita.

Oleh karena itu saya hanya bisa menangis ketika anak-anak kita "mengonsumsi dengan gampang dan gamblang tanpa saringan" tentang korupsi, pemerkosaan, terorisme, Ayu Tinting, Nikita Mirzani, Syaiful Zamil, ISIS, Yuyun, Eno, Mirna Solihin dan seluruh berita  yang terhidang dan tersaji setiap detik, setiap saat, setiap hari dengan kalimat bombatis yang -aduh!- telah kehilangan aura etika, sopan santun, kejujuran dan nilai-nilai moral yang dulu kita pelajari dengan khidmat, namun kini tak lagi masuk kurikulum. Ya Allah, saya hanya bisa ternganga….

Kini, saya tak lagi antusias. Saya benar-benar dikepung rasa cemas. Bagaimanakah masa depan anak-anak cucu saya nanti, akan jadi apakah bangsa Indonesia ini? Benarkah reformasi itu untuk memperbaiki?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline