Lihat ke Halaman Asli

Memilih Pendidikan Sistem Pesantren

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Agus Sunyoto, seorang Budayawan, Ilmuwan, Dosen, juga Penulis ini ternyata memilih mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan berbasis kepesantrenan secara independen. “Hal ini sudah terpikirkan sejak saya mengambil kuliah S2 di UM.” Paparnya saat diwawancarai. Tentang pendidikan bersistem pesantren, ada banyak alasan mengapa ia memilihnya. Berawal dari penemuannya bahwa sekolah hanyalah satu lembaga berisi dogma-dogma yang direalisasikan dalam wujud program-program. Dan bagi siswa yang telah menyelesaikannya akan mendapat gelar sarjana_misalnya_ yang selanjutnya diasumsikan sebagai orang yang cerdas, pandai dan pintar. Sehingga tak heran jika banyak ditemukan fakta, anak stress dan bunuh diri karena tidak lulus ujian sekolah. Pendidikan yang demikian adalah pendidikan yang membelenggu dan mematikan kreativitas siswa.

“Coba bandingkan dengan sistem pendidikan pesantren, mana ada santri mati bunuh diri karena tak lulus hafalan, ujian atau semacamnya!” tegas Budayawan Malang itu dengan senyum kecil penuh makna. Sistem pendidikan pesantren menerapkan pendidikan secara menyeluruh, yakni pendidikan yang berkaitan dengan akhlak dan pengajaran yang bersifat kecerdasan intelektual. Dengan sistem tuntas-melanjutkan, dalam waktu singkat pesantren mampu meluluskan generasi-generasi cemerlang, baik secara moril maupun intelektuil. “Jika mampu menguasai berbagai keilmuan dalam waktu beberapa bulan, mengapa harus menunggu 3, 6, atau 9 tahun untuk lulus?” sindir Agus terhadap sistem sekolah. “Dengan demikian kita tahu bagaimana pesantren memberikan ruang lebih untuk para santri mengasah potensi diri.” Lanjutnya.

Dalam pendidikan kepesantrenan, di usia antara 15-21 tahun santri dianggap sebagai sahabat. Ini sebagaimana hirarki perlakuan terhadap anak yang pernah disampaikan sayyidina Ali r.a, bahwa di usia 1-7 tahun, anak harus diperlakukan sebagai raja, disayang dan tidak dihujani dengan kemarahan-kemarahan. Usia 8-14 tahun, saatnya anak diperlakukan sebagai tawanan, segala gerak-geriknya diawasi betul, jika salah dihukum bila perlu. Sebagaimana Rasulullah saw menganjurkan orang tua untuk memukul anaknya di usia 10 tahun jika tak menjalankan sholat fardlu. Usia 15-21 tahun anak diperlakukan sebagai sahabat, karenanya, di dunia pesantren, pada usia tersebut para santri dibiarkan untuk beradu argumen dengan para kiainya dalam hal ilmu pengetahuan. Mereka tak harus selalu meng’iya’kan apa kata pak kyai jika itu dirasa tidak benar. Namun dalam kehidupan sehari-hari, mereka tetap ta’dzim dan patuh. Sistem seperti inilah yang nantinya membawa ilmu pengetahuan pada perkembangan yang pesat. Bukan ilmu yang dibatasi oleh pakem-pakem yang hakikatnya justru membodohkan.

Itulah mengapa Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya ini memilih menerapkan sistem pendidikan pesantren. Satu hal yang disayangkan olehnya, bahwa saat ini banyak pesantren yang hanya fokus pada materi-materi bersifat fiqhiyah saja atau berorientasi pada citra kearab-araban_Arab itu ya Islam.red_. Ia ingin Pesantren Global yang dirintisnya menerapkan kembali sistem pendidikan pesantren di zaman Walisongo, di mana pesantren juga mengajarkan ilmu falak, filsafat, mantiq dan ilmu-ilmu yang tak hanya bersifat doktrinasi. Harapannya ke depan, Pesantren Global mampu menjadi pelopor generasi baru yang sadar bahwa mereka sedang berada dalam cengkraman neokolonialisme, yakni penjajahan pemikiran. “Oleh karenanya, kita harus keluar dan bebas dari cengkraman itu. Melahirkan post hegemoni.” Tandasnya penuh semangat keilmuan. “Bangsa kita adalah bangsa yang cerdas, hanya saat ini sedang terjebak dalam sistem yang membodohkan saja. Kalau ingin maju dan berkembang, maka kita harus memberontak terhadap pemikiran-pemikiran yang menghegemoni.” Pintanya mengakhiri wawancara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline