Lihat ke Halaman Asli

Rekadaya Jamur sebagai Penopang Hidup

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pengabdian sosial kemasyarakatan memiliki wajah yang beragam. Dapat dilakukan secara individu, kelompok atau institusional. Hal ini sebagaimana yang digagas Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Islam Negeri Malang (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang. Satu tahun ini LPM UIN Maliki Malang telah melakukan Pemberdayaan Masyarakat bertemakan Posdaya Masjid dengan mengerahkan seluruh mahasiswa-mahasiswi UIN Maliki semester VI dari berbagai jurusan untuk terjun lapangan, aplikasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi: pengabdian masyarakat.

Usai pengabdian selama satu bulan (Ramadhan tahun 2012), LPM UIN Maliki mengirim beberapa mahasiswanya untuk meneliti hasil dari pengabdian yang telah dilakukan agar dapat dijadikan barometer pelaksanaan Posdaya ke depan. Hal ini sebagaimana kami jalani beberapa hari yang lalu (5-7/04), kami berempat (Makmun, mahasiswa syari’ah semester VI, Heni, mahasiswi PGMI semester IV, Wurya, mahasiswi ekonomi semester IV dan Tina, mahasiswi PBA semester VIII) menuju Dusun Kalipakem, Donomulyo untuk proses penggalian data.

Bertempat di rumah Pak Nur Wahid, penggerak Posdaya Dusun Kalipakem, membuat kami bahagia sekaligus terkejut. Saat pertama datang, kami disambut dengan hidangan yang nikmat dan lezat, ada sate jamur, tumis jamur dan beragam olahan berasal dari jamur. Hari-hari berikutnya kami bersama Pak Wahid mengolah jamur menjadi ragam yang lain, seperti es krim jamur, nudget jamur dan jamur krispi. Kesemuanya diolah secara alami, tanpa ada bahan pengawet. Tak salah kiranya jika mereka menamai kampung mereka dengan kampung jamur.

“Dulu, sebelum bergabung dengan Posdaya LPM, saya sangat sulit menggerakkan masyarakat setempat untuk menjadikan usaha jamur sebagai satu cara penopang kebutuhan hidup sehari-hari. Justru berbagai penolakan dan cibiran yang kami terima.” Ungkap Pak Wahid kepada kami. ‘Sarjana kok endingnya ke pasar setor panen jamur setiap hari!’ ejekan masyarakat yang demikian sempat membuat sarjana teknik ITN Malang (2005) tersebut berkecil hati. Namun, seiring berjalannya waktu disertai tekad dan tindakan-tindakan konkret, kini ia telah mampu merekrut 27 anggota kelompok kampong jamur untuk berbisnis rekadaya jamur.

Tak dapat dipungkiri, menggerakkan masyarakat bukan hal yang mudah. Paradigma berpikir formalis-pragmatis telah mengakar kuat di benak mereka. Ukuran orang sukses bagi masyarakat kita hari ini bukan seberapa banyak ilmu yang dimiliki dan diamalkan demi kesejahteraan bersama, melainkan dari jabatan yang diduduki, kekayaan yang dimiliki, merk mobil yang dikendarai, dan seberapa megah rumah yang ditinggali. Intelek, alim ulama’, pengabdi masyarakat, pemegang teguh idealism, pejuang kebenaran tak lagi dihargai bahkan tak sedikit yang dikebiri.

Meski penolakan masyarakat tak kunjung usai, Wahid tetap gigih menjalankan usahanya. Ia berusaha keras untuk tetap berjalan dan menggandeng siapa-siapa yang berkenan tanpa adanya paksaan. Berbagai lembaga peminjaman keuangan telah dikunjunginya untuk menambah modal awal usahanya. “Andai saja ada lembaga yang mau meminjamkan dana modal tanpa bunga” harapnya di akhir pembicaraan. Semoga hal ini mampu membuka mata dan hati berbagai pihak (pemerintah, lembaga sosial, konglomerat dsb) untuk mengulurkan tangannya mengembangkan produk lokal dan meningkatkan perekonomian masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline