Lihat ke Halaman Asli

Timung Rahman

Hamba Tuhan

Dilema Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Diperbarui: 14 Desember 2021   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia adalah negara berlandasakan hukum, keadilan ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-undang.  Proklamasi, negara dan hukum dirancang agar berpihak kepada rakyat dan keadilan sosial, namun  seringkali berlaku sebaliknya. Keuntungan negara masuk ke kantong penguasa, sementara rakyat kecil terus menderita akibat kezaliman yang tak kunjung reda. Lain di mulut, lain di hati. Lebih bejatnya lagi, rakyat kecil yang merasakan penderitaan akibat ulah mereka. Perlu untuk kita ketahui  bersama bahwa salah satu  tujuan nasional adalah penegakan hukum dan keadilan, sayangnya itu tidak lebih dari tinta hitam diatas kertas, sekadar ada namun tak bermakna. Seperti penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Tindak Pidana Korupsi adalah kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), Korupsi dikatakan sebagai kejahatan luarbiasa menurut pernyataan dari ketua komisi pemberantasan korupsi (KPK) Jendral Polisi Drs. Firli Bahuri, M.Si. beliau menuturkan bahwa korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa karena korupsi bukan hanya merugikan uang negara, tetapi dapat berdampak pada seluruh program pembangunan, korupsi menyebabkan kualitas pendidikan menjadi rendah, kualitas bangunan menjadi rendah, mutu pendidikan jatuh, serta kemiskinan tidak tertangani. Korupsi adalah kejahatan yang merampas hak rakyat, hak asasi manusia. Melakukan tindak pidana korupsi sama saja dengan melawan kemanusiaan (http://www.lemhannas.go.id/08/10/2020).

Saat ini tidak hanya Covid-19 yang merajalela tapi juga perilaku korupsi. Sebenarnya korupsi bukanlah masalah baru dinegara ini, Korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelanggaraan negara. 

Pelaku tindak pidana korupsi juga dari barbagai kalangan, dari pelaku usaha, kepala daerah, menteri bahkan parat penegak hukum seperti hakim jaksa, polisi dan pengacara. Dr. Febby Mutiara Nelson dalam bukunya "Sistem Peradilan Pidana Dan Penanggulangan Korupsi Di Indonesia " menyebutkan bahwa, Korupsi adalah akar dari segala permasalahan bangsa dan penyebab utama terjadinya.  

Lebih dari itu Dr. Jan S Marinka (2017) menyebutkan bahwa terlibatnya lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif adalah sebuah gambaran umum bahwa korupsi tidak hanya menibulkan kerugian secara finansial dan menghambat proses pembangunan, namun juga mengancam fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan bisa saja korupsi akan menjadi babak terakhir dari perjalan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat.

Sebenarnya telah dilakukan berbagai upaya dalam mengatasi persoalan tersebut, dari dibentuknya lembaga hingga dibuatnya regulasi sebagai upaya pencegahan juga pemberantasan terhadap perilaku korupsi. Bahkan pada kampanye priode awal untuk pencalonannya sebagai presiden salah satu nawacita dari Presiden Joko Widodo saat itu adalah menolak negara lemah dengan penguatan terhadap lembaga penegak hukum dan upaya pemberantasan  tindak pidana korupsi. 

Namun selama empat tahun masa kepemimpinannya tidak ada perubahan, baik dalam persoalan penegakan hukum atapun masalah tindak pidana korupsi. Bersumber dari Transprency Internasional Indonesia bahkan mencatat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia selama empat tahun pemerintah Jokowi-JK naik sebanyak empat poin. Pada 2014 skor IPK Indonesia berada di poin 34, sementara pada 2018 skornya bergeser ke angka 38 atau nak rata-rata 1 poin pertahun.

Pada priode kedua masa kepemimpinan presiden Joko Widodo juga tidak menunjukan keseriusan ataupun integritasnya dalam menangani masalah korupsi. Janji Jokowi seperti menolak negara lemah, penguatan terhadap lembaga penegak hukum dan melakukan upaya pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi dapat kita katakana sebagai sebuah omong kosong belaka, hal ini dapat kita lihat dari status lembaga Kepolisiab dan Kejaksaan yang hingga saat ini masih belum ada perubahan,  metode pengisian jabatan Jaksa Agung yang masih monoton, dan puncaknya adalah ketika membiarkan revisi terhadap UU KPK, padahal revisi tersebut menjadi kontoversial, mendapat tanggapan serius dari berbagai kalangan baik itu mahasiswa, praktisi ataupun akademisi.

Upaya terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak mengalami kemajuan, ditengah pandemi Covid-19 saat masyarakat menjerit kelaparan saja prilaku korupsi tetap terjadi, dari aparat penegak hukum juga tidak terlihat itikad baik untuk penyelesaian terhadap perilaku korupsi tersebut. Kekuasaan terhadap sistem dipertontonkan didepan mata, saat rakyat kecil melanggar hukum diberi sanksi berjilid-jilid namun para pelaku korupsi dipotong masa tahanan. Bersumber dari Transprency Internasional Indonesia mencatat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dalam peluncuran Indeks Presepsi Korupsi pada tahun 2019 Indonesia dengan jumlah score 40 dengan posisi ke-85 kemudian pada tahun 2020 Indonesia dengan score 34 dengan posisi di ke-102 dari ratusan negara yang disurvei.

Dengan adanya peristiwa dan perkembangan seperti ini pemerintah Jokowi telah mencederai harapan masyarakat. Bersumber dari media Tempo, reporter M Rosseno Aji menerangkan bahwa, dari Wakil Koordinator ICW Agus Sunaryanto menyatakan bahwa, pada awal periode kepemimpinanya sebagai Presiden public berharap banyak dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Harapan tersebut juga bukan tanpa sebab, hal itu dikarenakan Presiden Joko Widodo sendiri pernah diganjar Bung Hatta Anticoruption Award semasa ia masih menjabat sebagai Wali Kota Surakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline