Lihat ke Halaman Asli

Kesenjangan di Kota Pendidikan

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berangkat dari tujuan nasional bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi pendidikan bagi seluruh warga negara nya, mari kita meninjau pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945 bahwa sesungguhnya seluruh warga Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib untuk membiayainya. Mari kita sekedar menerawang, sudahkah pendidikan di Indonesia berjalan dengan baik? Sudahkah seluruh warga negara di bangsa ini terjamin masa depan pendidikannya?

Tanggal 2 mei kemarin merupakan hari perayaan pendidikan yang diselenggarakan secara nasional. Tidak sepatutnya bangsa ini merayakan ditengah buruknya sistem pendidikan di lapangan. Nyatanya, pemerataan pendidikan di Indonesia belum benar-benar sempurna. Jika ukuran Indonesia yang terlalu luas wilayah penilaiannya tentang pendidikan, mari kita mencoba menelaah satu kota pendidikan yang dimana jumlah percampuran ras nusantaranya paling tinggi di negeri ini. Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal sebagai kota pengaduan nasib pendidikan di Indonesia selain Malang dan Bandung. Dimana menurut sumber terkait, ada lebih dari 120 perguruan tinggi swasta mapun negeri yang terdapat di Provinsi DIY, dengan sebagian PTN/PTS yang terpusat di Kabupaten Sleman Dan Kota Yogyakarta. Mirisnya, sebagian besar mahasiswa yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi di sejumlah PTN/PTS ini merupakan orang pendatang yang tidak benar-benar bermukim di Provinsi DIY. Akibatnya pemerataan pendidikan untuk warga DIY sendiri tidak berjalan dengan baik. Padahal jika dilihat dari segi wilayah yang hanya 0,17% dari wilayah nusantara, DIY mempunyai peluang yang sangat baik dalam proses pengembangan sumber daya manusia yang ditekankan dalam pemerataan pendidikan ditunjang dari jumlah PTN/PTS yang terdapat di DIY.

Perbedaan kelas sosial yang terjadi di DIY sangatlah menyedihkan, mengingat bahwa Provinsi ini dikenal sebagai kota pendidikan. JPNN mengatakan bahwa ada 47.776 warga DIY yang mengidap buta huruf. Angka ini menunjukkan data yang lumayan tinggi. Meluapnya pendatang baru yang hanya terjadi di beberapa tempat di DIY membuat pemerintah harus bersikap tegas dalam mengambil kebijakan. Selain semakin memperlihatkan adanya kesenjangan sosial antara masyarakat kota dan masyarakat desa, tidak meratanya pembangunan juga mempengaruhi perkembangan ekonomi antara perkotaan dan pedesaan. Ini membuat DIY lagi-lagi masuk dalam daftar 10 Provinsi termiskin di Indonesia.

Kabar baiknya, tidak meratanya pendidikan di DIY juga membawa dampak baik bagi warga pedesaan yang temotivasi untuk sama-sama merantau ke daerah perkotan demi mengenyam pendidikan. Maka dari itu Badan Prencanaan dan Pembangunan DIY mencatat bahwa DIY meraih peringkat ke 4 dengan indeks pembangunan manusia tertinggi. Kita sebagai warga yang baik tidaklah harus untuk cepat berpuas diri dengan perkemangan yang telah diraih. Masih banyak PR yang harus dikerjakan, entah sebagai warga negara atau pemerintah.

Sumber :

1. http://www.academia.edu/7180619/Reformasi_Tata_Kelola_Pemerintahan_Daerah_Istimewa_Yogyakarta

2.http://yogyakarta.bps.go.id/

3. http://www.jpnn.com/read/2014/10/16/263982/47.776-Warga-DIY-Masih-Buta-Huruf

4.http://tkj-manusa.blogspot.com/2011/05/daftar-universitas-swasta-di-jogja.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline