Lihat ke Halaman Asli

Pemidanaan Penolak Vaksin Melanggar HAM: HAM Milik Siapa?

Diperbarui: 6 Mei 2021   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

unsplash.com

Tepat pada tanggal 2 Maret 2020 lalu, Presiden Jokowi mengumumkan kasus corona pertama di Indonesia. Setahun kemudian, hingga kini, terdapat lebih dari 1,5 juta kasus positif COVID-19 di Indonesia (Kemenkes, 2021). Pemerintah telah melakukan banyak upaya untuk menekan angka penyebaran virus corona yang semakin merajalela. Salah satunya adalah melakukan vaksinasi dengan skala nasional. Presiden Joko Widodo menyebutkan, pemerintah sudah mengamankan pemesanan 329.500.000 vaksin COVID-19. 

Jumlah ini berasal dari berbagai jenis vaksin yaitu, 122,5 juta dosis vaksin dari Sinovac, 50 juta dosis vaksin dari Novavax, 50 juta dosis vaksin dari Pfizer, 50 juta dosis vaksin dari AstraZeneca, dan 54 juta dosis vaksin dari Covax/GAVI. Program vaksin ini dijalankan secara merata di seluruh Indonesia setelah mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan dipastikan halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa MUI No 02 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac Life Sciences, Co. Ltd China dan PT Biofarma.

Sanksi untuk Penolak Vaksin

Untuk memastikan program vaksinasi nasional ini bisa berjalan dengan baik, pemerintah menetapkan sanksi baik administratif maupun pidana bagi mereka yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin COVID-19, namun tidak mengikutinya. Sanksi administratif ini tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (PP No. 14/2021). Sedangkan, sanksi pidana mengacu kepada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 36/2009) tepatnya di pasal 93.

Terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai adanya sanksi pidana ataupun sanksi administratif bagi mereka yang enggan untuk melakukan vaksinasi. Pada hari Sabtu, 9 Januari 2021, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Hiarej, menyatakan bahwa ada hukuman pidana bagi mereka yang menolak untuk menerima vaksin Covid-19, yaitu mereka dapat dikenakan sanksi paling lama satu tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp100 juta (Kompas, 2021). 

Peneliti dari Amnesty International Indonesia, Ari Pramudya, langsung melontarkan kritik sebagai tanggapan dari hal ini. Ia mengatakan bahwa pemaksaan vaksinasi dengan ancaman hukuman pidana merupakan pelanggaran HAM. Tentu saja fenomena ini menjadi perbincangan di masyarakat, apakah benar pemaksaan vaksinasi dengan ancaman pidana merupakan pelanggaran HAM? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus melihat terlebih dahulu apa saja dasar hukum yang menjadi senjata masing-masing pihak.

Pertama, Wamenkumham RI menyatakan ketentuan sanksi pidana bagi penolak vaksin tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018). Pasal 93 UU No. 6/2018 menyatakan bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta. 

Selain itu, pada pasal 9, disebutkan bahwa setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada ini, hukuman bagi mereka yang menolak vaksinasi ini juga serupa dengan hukuman bagi mereka yang tidak menggunakan masker dan tidak menjalankan protokol kesehatan.

Di sisi lain, Ari Pramudya mengatakan dasar pendapat yang ia kemukakan tercantum dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Deklarasi Universal tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia yang intinya menyatakan bahwa intervensi medis hanya boleh dilakukan dengan persetujuan sebelumnya dan tanpa paksaan berdasarkan informasi yang memadai. 

Selain itu, persetujuan tersebut harus dinyatakan dan dapat ditarik kembali kapan saja dan dengan alasan apapun (Amnesty International, 2021). Hal ini juga sejalan dengan apa yang tercantum dalam Pasal 5, 8, dan 36 UU 36/2009. Dimana pada intinya, setiap orang memiliki hak untuk menentukan sendiri pelayanan kesehatan untuk dirinya sendiri dan juga berhak untuk menolak tindakan medis yang akan dilakukan kepada dirinya dan dalam kasus ini termasuk vaksinasi. Namun, terdapat pengecualian Pasal 56 ayat (1) UU 36/2009, yakni hak untuk menerima atau menolak tersebut tidak berlaku pada penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline