Lihat ke Halaman Asli

Timothy Steven Joseph Baya

pengagum kebaikan | musisi paruh waktu

Satu Pengalaman Berharga: Menggendong Jenazah

Diperbarui: 17 November 2020   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari dulu saya paling menghindari acara kedukaan. Bukan karena apa-apa, tapi hati saya paling nggak tahan dan bisa ikut larut dalam duka yang mendalam setelah melihat dan mendengar tangisan pilu keluarga yang berduka, meskipun saya nggak punya hubungan khusus dengan mereka yang sedang berduka. Belakangan,saya menyadari kalau saya punya empati yang cukup tinggi, meskipun di jalan kadang saya juga suka neriakin pengguna jalan yang ngaco.

Bulan April yang lalu, suami dari adiknya oma dari calon istri saya (wah kepanjangan.. kita singkat aja jadi Opa saya saja) menghebuskan nafas terakhirnya dengan sangat tenang di rumah di daerah Kemayoran. Almarhum memang pada saat itu sedang menjalani rawat jalan, setelah sebelumnya menjalani perawatan intensif di rumah sakit. 

Berdasarkan cerita dari oma dan tante saya pada saat kejadian, almarhum tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan, bahkan sebelumnya masih sempat menghabiskan sarapan. Sesuatu yang cukup menggembirakan, karena sebelumnya almarhum agak susah untuk menghabiskan makanan.

Hari Sabtu siang, saya jemput pacar pulang kerja. Rencananya siang itu kami mau jalan-jalan ke mall. Badan udah rapih, wangi, dan siap berangkat nih ceritanya. Pacar saya ditelpon oleh keluarga dan kami dapat kabar yang tidak pernah mau kami dengar: Opa barusan meninggal.

HAAAH!?

Seketika rasa tidak percaya dan sedih jadi satu. Terakhir saya ketemu dengan Opa memang badannya agak lemah, tapi masih bersemangat. Pacar saya sudah nangis sesunggukan karena kaget dan sedih. Saya sih belum nangis ya karena masih nggak percaya. Hati makin sedih ketika kami dikirimi foto kondisi almarhum yang terbaring tak bernyawa di WAG keluarga.

Agenda jalan-jalan langsung kami cancel tanpa diskusi lebih lanjut. Sore itu juga kami langsung berangkat ke rumah duka. Sampai disana, suasana haru langsung menyergap. Bertolak belakang dengan statement di awal tulisan ini, saya jadi terlibat di suasana yang membuat pilu hati ini. 

Di rumah opa sudah berkumpul om tante dan sepupu-sepupu pacar saya. Karena kondisi opa yang baru meninggal, jenazah opa masih hangat dan memang kelihatan seperti tidur pulas. Kenapa saya tahu? Karena UNTUK PERTAMA KALINYA saya memegang jenazah sudah terbaring. Hal yang tidak pernah mau saya lakukan sebelumnya.

Tuhan itu baik. Saya diberi kesempatan  yang sangat-sangat berharga untuk mengurus jenazah Opa. Mulai dari memakaikan sarung tangan, ikut menggendong jenazah yang sudah mulai kaku masuk kedalam peti, mengatur posisi tubuh pada saat dalam peti, menempelkan selotip di kelopak mata jenazah, menaburkan kamper, ikut mengawal perjalanan dari rumah duka menuju ke krematorium, dan dapat kesempatan untuk masuk dan melihat jasad opa yang sudah menjadi serpihan arang dan abu dengan bau khas nya.

Semuanya saya lakukan sambil menahan tangis tentunya, sambil berucap dalam hati "Opa udah enak ya, sudah nggak sakit lagi, sudah tenang di Surga". Saya memang tidak mau kelihatan nangis tersedu-sedu karena rasa sedih dan kehilangan yang begitu besar, meskipun saya baru mengenal almarhum selama 4 tahun, bersamaan dengan usia hubungan cinta dengan pacar saya. 

Rasa kehilangan sosok Opa memang betul-betul nyata, karena dari kecil saya tidak pernah ketemu dengan opa dan kakek saya sendiri, karena semua sudah meninggal sebelum bayi yang lucu bernama Timothy ini lahir ke dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline