Suatu hari ada seorang penjual permata. Dirinya telah lama berlatih untuk menjadi seorang ahli permata, tetapi uang tak kunjung dihasilkannya. Dibutuhkan waktu 3 jam untuk menyelesaikan satu permata, terlalu lama. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk membuat replika permata dan menjualnya murah. Toh, status dia sudah merupakan pengrajin ahli -- Tak mungkin akan ada yang meragukan keaslian permata buatannya. Dalam satu hari, dirinya mampu menghasilkan tiga ratus batu permata dari meja kerjanya. Apakah permata palsu itu menjadi asli karena diolah pengrajin ahli? Tentu tidak. Perbuatannya ironis karena ia belajar bertahun-tahun untuk menjadi ahli pengrajin permata, tetapi malah membuat permata palsu. Begitu pula ketika seseorang professor melakukan tindak plagiarisme.
Menurut saya, seorang profesor harus memiliki integritas. Jika tidak, bagaimana bisa mendapatkan gelar akademis setinggi itu? Ada batas yang membuat tindakan seorang profesor menjadi ironis seperti pada cerita tadi. Misalnya, ketika profesor mengajarkan mahasiswanya untuk tidak melakukan plagiarisme, tetapi malah melakukan plagiarisme sendiri.
Ketika melihat kasus profesor yang melakukan plagiarisme, saya menemukan bahwa tidak semua profesor mengutamakan integritas dan kejujuran dalam pekerjaannya, seperti pada kasus Prof. Kumba Digdowiseiso yang mempublikasi ratusan makalah melalui taktik predatory journal. Penyelewengan seperti ini mencela kerja keras peneliti yang benar-benar menekuni penelitiannya. Bukan hanya itu, metode predatory journal juga mengompilasi penelitian subpar dari orang-orang yang belum pakar dalam bidangnya sehingga berpotensi menyesatkan peneliti lain.
Menurut artikel Mochammad Fajar Nur yang diunggah pada tanggal 19 April 2024 di situs web Tirto*, sepanjang 2023, Prof. Kumba Digdowiseiso tercatat sudah mempublikasi 679 makalah ilmiah. Banyak akademisi menduga capaian publikasi Kumba dilakukan menggunakan taktik jurnal predator, atau bisnis penerbitan makalah ilmiah dengan kualitas tulisan yang patut dipertanyakan. Jurnal predator mengabaikan langkah-langkah panjang yang umumnya diperlukan untuk menulis sebuah publikasi ilmiah, dan mempersingkatnya demi menambah publikasi.
Bagaikan hewan bermimikri Batesian**, profesor yang melakukan plagiarisme 'menyontek' corak orang lain untuk kepentingannya sendiri.
Footer:
*https://tirto.id/kasus-dugaan-plagiat-simalakama-ambisi-genjot-publikasi-ilmiah-gXTc, diakses pada tanggal 9 Agustus 2024.
**Mimikri Batesian adalah sebutan bagi metode kamuflase hewan tak berbahaya yang berevolusi terlihat menyerupai hewan berbahaya. Contohnya, ular Scarlet King yang tidak berbisa memiliki corak menyerupai ular Eastern Coral yang berbisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H