Lihat ke Halaman Asli

Suara Terakhir Moni

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1384718470396403390

[caption id="attachment_302495" align="alignleft" width="300" caption="Foto: google"][/caption] Perbincangan kami cukup seru. Berbarengan dengan semilir senja. Rokok yang aku bakar tak sempat kuisap perlahan. Abunya memanjang lengkung. Sementara seteguk Kapal Api terasa hangat. Aku berharap bahwa seteguk kekuatan kudapat dari tetesannya. Moni melantun merdu di udara.

Moni adalah gadis kecilku. Malaikat tak bersayap yang selalu terbang mengitari nyata dan mayaku. Namanya sudah terpatri dalam setiap jejak langkah dalam pengembaraanku. Ia ramah dan kuat. Mandiri dan tidak arogan. Bukan gadis murahan atau tipe hedonis yang lemah lunglai. Ia adalah personifikasi kekuatan dahsyat yang tak terkatakan selama ini. Monalisa Flores Lujunai.

Senja berganti gelap. Dingin menusuk sum sum tulang belakang. Hingga ke ubun ubun. Suara Moni tiba-tiba datang dari seberang pulau. Pelan berganti lengking. “Kami ketawa”. Ah, ini dia yang aku nanti. Suara penghibur lara di Abepura.

HP-ku yang kutempelkan di daun telinga jadi hangat. Lagian, frekuensi suara dari Nokia makin meninggi. Menepis dan mengusir angin cengeng yang nyaris beku.

Entahlah dia dimana. Tetapi kami berbincang garing. Ia di Pulau Bunga. Sontak pikiran menerawang menembus dinding kamar kosku. Bukan mengkhayal. Tapi mencipta. Menciptakan dia yang tercinta dalam kamar berukuran 4x6 meter. Dia citra Sang Pemahat Kekal.

Sementara buku-buku, pena dan notebook tak tahu rimbanya. Eh aku lupa, sedari tadi aku mengutak-atik kata sampah. Mengukir kata dari rasa dan pengalaman. Berbentuk klausa dan paragraf.

“Kak, nafasmu kuatkan jiwaku. Seakan dunia adalah langit ketika kita menyatu dalam satu kata, Cinta.”

Begitu ia menjeda ceritaku tentang pengembaraan di tiga pulau. Aku tak sedikit pun menerimanya jika itu adalah rayuan. Tetapi bahwa Moni mengatakan ekspresi jiwanya. Selama ini ia menyimpan saja dalam hati. Ia mau berkata tapi tak bisa berucap. Ia seakan bisu memandang realitas yang konyol dan pragmatis. Kapitalisme membuat ia tak berdaya sama sekali ketika bersuara.

Detik berganti menit. Malam itu dialog kami makin panjang. Hingga aku sebut dialog dinihari, sebab, jarum jam berganti pada pukul 04.00 waktu Papua. Tut tut.., suaranya tiba-tiba putus. Aku terus berteriak memanggil Moni hingga burung-burung udara menatap sinis. Malam pecah jadi isak. Moni tak ada kabar hingga aku menuliskan pesan pendek ke telpon selulernya.

Ah, suara terakhir Moni. Ini yang aku ingat, “Kak, nafasmu kuatkan jiwaku. Seakan dunia adalah langit ketika kita menyatu dalam satu kata, Cinta.”

Abepura, 18 November 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline