Lihat ke Halaman Asli

Sony Kusumo

Menuju Indonesia Surplus

Siauw Giok Tjhan, Tak Henti Melawan Diskriminasi hingga Akhir Hayat

Diperbarui: 19 Januari 2020   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siauw Giok Tjhan, Tak Henti Melawan Diskriminasi hingga Akhir Hayat | berdikarionline.com

Kawasan Kapasan di Surabaya bukan hanya tenar soal Kampung Kungfu-nya. Pamor pecinan ini, juga ramai diperbincangkan karena memiliki sosok-sosok hebat berjuluk 'buaya kapasan'.

Salah satu sosok 'buaya kapasan' itu adalah Siauw Giok Tjhan. Pria keturunan Tionghoa itu, lahir di Kapasan, Jawa Timur, 23 Maret 1914.

Anak dari pasangan Siauw Gwan Sie dan Kwan Tjian Nin, menghabiskan masa kanak-kanaknya di sekolah yang jaraknya sekitar 500 meter dari kediamannya. Berkat keahlian kungfu dari sang kakek, Siauw tak segan berkelahi dengan anak Belanda ataupun warga lokal yang menghinanya.

Perlawanan itu dilakukannya demi mengedepankan keadilan, apalagi dirinya hidup dalam lingkungan yang keras. Disamping itu, Siauw tercatat sempat menimba pendidikan di Holder Burger School (HBS) di Surabaya.

Dan di usia ke-18, Siauw menjadi anggota Partai Tionghoa Indonesia (PTI). PTI merupakan partai politik besutan Liem Keen Hien pada 25 September 1932 di Surabaya.

Keikutsertaannya dalam partai karena melihat kondisi sulit dan diskriminasi terus-menerus yang dialami kalangan Tionghoa. Contoh kasusnya adalah peraturan dalam sistem surat jalan atau wijkenstelsel dan passenstelsel.

Isinya adalah warga Tionghoa tidak diizinkan tinggal di pusat kota, kecuali ada surat jalan. Mereka juga sering kali diadili atas perkara kecil dan tanpa bukti kuat.

Ada pula soal pemberlakuan Politik Etis di tahun 1901. Hal itu menyebabkan kondisi ekonomi warga Tionghoa mesti mengandalkan pembungaan uang karena Belanda membuat banyak bank desa.

Keberanian Siauw menyuarakan hak-hak etnis Tionghoa disalurkan lewat karya tulisnya. Sehingga di tahun 1933, ia dipekerjakan sebagai asisten The Boen Ling, pemimpin surat kabar harian Sin Tit Po di Surabaya.

Lalu pada 1934 Siauw pindah dan menjadi staf di harian Matahari. Di situ Siauw membangun kedekatan dengan para pejuang kemerdekaan.

Mulai dari Iwa Kusumasumantri, Tjipto Mangunkusumo hingga Mohammad Hatta dan Soekarno. Siauw pun kerap berkorespondensi ketika mereka diasingkan ke Pulau Ende, Banda, dan Banda Neira.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline