Keberanian sosok Tionghoa yang satu ini, patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, dia berani menyelundupkan candu demi menyelamatkan keuangan negara.
Dia adalah Boen Kin To atau lebih populer dengan nama Tony Wen. Pria kelahiran Sungailiat, Bangka pada 1911 ini, sebetulnya terlahir dari keluarga berkecukupan.
Ayahnya saja seorang kepala parit Bangka Biliton Tin Maatschapij. Beberapa pendidikannya pun ditamatkan di luar negeri.
Usai sekolah menengah dikampungnya, ia melanjutkan studi di Singapura. Dan berkuliah dua kali di Tiongkok, yakni U Ciang University, Shanghai dan Liang Nam University, Canton.
Sesudahnya, Tony kembali ke tanah air dan mengabdi sebagai pendidik di Sekolah Pa Hoa. Ia menjadi guru olahraga.
Ia pun pernah menjadi pemain sepak bola dan mewakili UMS (Union Makes Strength), perkumpulan sepak bola Tionghoa yang bermarkas di Petak Sin Kian, Jakarta.
Lewat Catatan seorang WNI: Kenangan, Renungan & Harapan (1989:8) yang ditulis Yunus Yahya, dikatakan bahwa sebelum Perang Dunia II, lewat sepak bola, ia menjadi bintang idola para remaja. Kemudian saat kependudukan Jepang, Tony bekerja sebagai penerjemah.
Dalam The Indonesian Revolution and the Singapore Connection, 1945-1949 (2003:130), Yong Mun Cheong menyampaikan, ia Perserikatan Rakjat dan Boeroeh Tionghoa di Surakarta sebagai manajer bagian olahraga.
Dan selepas Jepang kalah, ia adalah seorang pemimpin Barisan Pemberontak Tionghoa (BPTH) di Solo. Bahkan, ia juga bergabung dengan International Volunteers Brigade (IVB) alias Brigade Internasional yang menghimpun orang keturunan bangsa Asia.
Kisah Tony yang tak kalah menarik, adalah soal penyelundupan candu atau opium ke Singapura. Hal tersebut dilakukan lantaran kurangnya kas negara untuk biaya operasional pemerintah, termasuk pembelian senjata.
Terlebih akses perdagangan Indonesia ke negara lain saat itu, ditutup oleh Belanda. Jadi mau tak mau, tentunya demi melanggenggkan jalan perjuangan Indonesia di era penjajahan.