Lihat ke Halaman Asli

Sony Kusumo

Menuju Indonesia Surplus

Kampung Ketandan, Pecinan di Yogyakarta yang Tak Termakan Zaman

Diperbarui: 27 November 2019   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung Ketandan, Pecinan di Yogyakarta yang Tak Termakan Zaman | kanaljogja.id

Mendengar nama Yogyakarta, pasti ada banyak hal yang menyembul dalam pikiran. Mulai dari kemegahan Candi Borobudur, kenikmatan kuliner khas gudegnya, hingga mode pemerintahannya yang masih menggunakan sistem kerajaan atau keraton.

Lalu bagaimana dengan Kampung Ketandan? Bagi yang sering berkunjung ke kawasan Malioboro pasti sudah tak asing lagi.

Ya, karena letaknya tepat berada di tengah-tengah kawasan Malioboro. Persisnya di sebelah tenggara, perempatan Jalan Malioboro, Jalan Margo Mulyo, Jalan Pejaksen, dan Jalan Suryatmajan.

Menariknya lagi, Kampung Ketandan adalah pecinannya Kota Yogyakarta. Lokasi ini juga sempat viral lantaran sebuah akun Instagram @shanghai.explorer mengunggah sebuah foto gapura yang menjadi jalan masuk Ketandan.

Unggahan tersebut juga diberi keterangan "Peacefull days in Shanghai". Wow, sebegitu miripnya ya Ketandan dan Shanghai.

Ketandan sendiri diperkirakan sudah ada sejak abad ke-18. Yakni, saat penjajahan Belanda dan ketika Tan Djin Sing hijrah dari Kedu ke Yogyakarta.

Tan Djin Sing adalah seorang Kapiten Tionghoa yang membantu Inggris menggulingkan kepemimpinan Sultan Sepuh dan mengangkat Hamengkubuwono III. Dirinya pun diberi hadiah berupa gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat.

Selain itu, menurut Joni Purwohandoyo dan kawan-kawan dalam Pariwisata Kota Pusaka: Mendayagunakan Aset Pusaka, Menyejahterakan Masyarakat (2018) diterangkan bahwa kawasan Ketandan muncul saat pertengahan tahun 1811-1830. Alasannya karena area Ketandan baru muncul pada peta Yogyakarta terbitan 1830.

Sedangkan pada peta Yogyakarta yang terbit tahun 1811, Ketandan belumlah muncul.

Gerbang masuk Kampung Ketandan ditandai dengan sebuah gapura raksasa setinggi tujuh meter. Gapura ini didominasi oleh warna merah serta hijau yang menjadi simbol akulturasi antara keraton dan Tionghoa.

Kata 'Kampoeng Ketandan' di gapura tersebut ditulis dalam tiga aksara. Yakni dalam bahasa Jawa, Latin, dan Mandarin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline