Lihat ke Halaman Asli

Sony Kusumo

Menuju Indonesia Surplus

Auw Tjoei Lan, Penolong Perempuan dan Anak Terlantar

Diperbarui: 22 November 2019   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Auw Tjoei Lan, Penolong Perempuan dan Anak Terlantar (dokpri)

Terlahir dari keluarga bangsawan tidak serta merta membuat Auw Tjoei Lan tinggi hati. Dirinya malah menjadi sosok yang peduli sesama, terutama kepada para perempuan yang diperdagangkan.

Perempuan yang akrab disapa Nyonya Lie Tjian Tjoen lahir di Desa Karangsambung, Majalengka pada 24 Februari 1889. Dia merupakan anak dari pengusaha sekaligus Kapitan Tionghoa bernama Auw Seng Ho.

Ayahnya juga memiliki kebun tebu, pabrik gula serta jiwa kemanusiaan yang tinggi. Beramal dengan menolong gelandangan, tunanetra, hingga menyediakan makan dan tempat tinggal bagi tunawisma dilakukannya.

Seperti pepatah lama 'buah tak jatuh jauh dari pohonnya', sikap kedermawanan itu lantas menular ke Auw Tjoei Lan sejak kecil.

Aksi memberantas kasus perdagangan perempuan dilakoninya selepas menikahi Lie Tjian Tjoen. Dia adalah anak Mayor Tionghoa bernama Lie Tjong Hong.

Dari situ, Auw Tjoei Lan diboyong sang suami ke Batavia dan menetap di rumah mertuanya di Jalan Pintu Besar. Sampai suatu ketika, ia bertemu dr Zigman, mantan guru yang mengajarnya bahasa dan kebudaan Belanda lewat perantara pendeta van Walsum.

Ia diajak untuk mengurus Ati Soetji. Organisasi tersebut menaungi para perempuan yang terpaksa menjadi pelacur lantaran sulit ekonomi, dipaksa melacur di rumah bordil, serta yang dijual dan didatangkan dari daratan Tiongkok.

Selain dr Zigman, organisasi itu sendiri digawangi oleh teman-temannya seperti Van Hindeloopen dan Soetan Temanggoeng. Disamping Ati Soetji, ada beberapa organisasi serupa yang muncul dan hidup di Indonesia.

Misalnya Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI), Madjoe Kamoelian, Po Leung Kuk, Indo-Europeesch-Verbond Vrouwen Organisatie, dan Comite Pemberantasan Perdagangan anak-anak. Mengapa di era tersebut sudah muncul begitu banyak organisasi seperti itu?

Sebab di kala itu, kasus perdagangan manusia (human trafficking) sudah marak terjadi. Bahkan jumlahnya kian meningkat ketika perekonomian di seluruh dunia menurun atau disebut zaman malaise di 1930-an.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline