Lihat ke Halaman Asli

Indonesia di Persimpangan Jalan AFTA 2015

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

“Apakah tidak ada jalan lain untuk meningkatkan daya saing kawasan ASEAN selain dengan klausul AFTA seperti sekarang ini ?”. Ini adalah satu diantara sekian banyak pertanyaan yang coba Saya artikulasikan dari gelora publik menyangkut AFTA 2015.

Tidak adanya penjelasan dan sosialisasi yang memadai dan gencar dari Pemerintah tentang konstruksi logis bahwa dengan AFTA, Indonesia dan kawasan ASEAN mampu meningkatkan daya saing ekonomi domestik dan regionalnya menyebabkan adanya resistensi dan penolakan yang luar biasa oleh sebagian besar kalangan dan masyarakat. Sinisme dan pesimisme telah menjadi bahasa bersama.

Tidak di media-media arus utama baik TV maupun radio. Tidak di diskusi-diskusi publik yang kontinyu. Tidak di sosialisasi yang masif. Tidak juga di kampanye-kampanye publik. Dan terlebih lagi tidak adanya publikasi resmi dari sisi Pemerintah Indonesia tentang segala sesuatu terkait AFTA sehingga publik bisa mengakses, mengunduh, membaca, mencermati, mencoba memahami, dan seterusnya. Dokumen-dokumen yang berisi semisal : kajian-kajian dampak dan analisis AFTA, langkah-langkah apa yang sedang dan telah dilaksanakan oleh Pemerintah, panduan Pemerintah terhadap pengusaha pemula dan rakyatnya terkait sikap-sikap apa yang harus disiapkan untuk mengadapi era AFTA, materi-materi video diskusi-diskusi publik dan para pakar, wawancara para ahli, pendapat masyarakat, survey publik tentang AFTA dan lain sebagianya membuat AFTA wajar jika ditengarai menjadi instrumen kapitalisme internasional untuk mengintervensi tatanan ekonomi ASEAN dan domestik.

Tidak ada adanya badan khusus domestik yang bertanggungjawab dalam segala hal tekait dan menyangkut AFTA, menjadikan AFTA selalu dicurigai. Liberalisasi, liberalisme, kapital, kapitalisme yang kesemuanya dipersepsi dan dimaknai negatif senantiasa muncul dalam persepsi publik menyangkut kata dan istilah AFTA, Free Trade, dan turunannya. Rekayasa sosial dan pendekatan budaya tidak dilibatkan sebagai instrumen untuk mentransformasi AFTA sebagai gerakan dan spirit bersama warga ASEANhingga menjadi satu visi, satu misi, satu gerakan sedemikian sehingga membuat AFTA gagal dipahami oleh banyak kalangan. Seharusnya AFTA itu lahir dari inisiatif warga ASEAN, bukan dari inisiatif elits Pemerintah.

AFTA seolah hanya konsumsi dan tema-tema elitis Presiden, kabinet, politisi-politisi serta para akademisi yang tidak mempunyai persambungan dengan wilayah kesadaran benak dan jiwa masyarakat Indonesia terutama rakyat kecil. Penyelenggara negara dan rakyat masing-masing hidup dengan dunianya sendiri.

Padahal prasyarat suatu visi dalam entitas organisasi terlebih jika organisasi itu sebesar negara yang bernama Republik Indonesia akan bisa berhasil jika dan hanya jika ia mampu ditransformasikan menjadi visi bersama seluruh rakyatnya, tidak hanya visi dan wacana yang hanya berputar-putar dikalangan elitsnya saja.

Prasyarat globalisasi yang melatarbelakangi adanya AFTA berupa infrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi serta transportasi yang memadai bahkan tidak mampu disediakan oleh Pemerintah Indonesia. Lalu bagaimana mungkin bisa Indonesia bersiap untuk menyambut AFTA 2015.

Coba tengok. Infrastruktur publik sedemikian buruk. Terutama transportasi berbasis rel baik untuk barang maupun orang, bandwith internet yang minim dengan harga pulsa yang mahal, bandara-bandara kita mengalami kelebihan beban, pelabuhan-pelabuhan kita kalah bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan negara tetangga, listrik pet-byar dengan kualitas buruk di daerah-daerah, ekonomi kita tergantung terhadap satu macam energi saja yaitu bahan bakar minyak dan celakanya lagi minyak tersebut sebagian besarnya harus dicukupi dengan impor, tidak adanya bauran energi, lemahnya penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional, birkorasi yang berbelit dan korup, kolusi dan nepotisme masih merebak, lemahnya koordinasi antar lembaga dan departemen kementrian, hambatan dalam memulai bisnis dengan perizinan yang lama, dan setumpuk hambatan lainnya. Perdagangan bebas dan kawasan integrasi ekonomi ASEAN tak memiliki makna sama sekali jika kita tak mampu mengakses dan memanfaatkannya.

Belum lagi pola pikir yang menjangkiti mayoritas elits negeri ini : “Ngapain bikin sendiri, kalo bisa impor”. Jadilah kita bangsa konsumen. Jam-jam kerja produktif sengaja dikurangi dan dihilangkan. Pengangguran merajalela. Garam, beras, bawang merah, gula, dan komoditas lainnya masih impor padahal sebenarnya kita mampu mencukupinya sendiri. Akibatnya para petani puso. Menjadi buruh di sawah sendiri. Hidup segan mati tak mau. Para pengusaha bangkrut, banting setir menjadi tengkulak : impor produk, menambahinya dengan sedikit margin, lalu menjualnya di pasar lokal. Tak ada riset, tak ada industrialisasi, tak ada proses rekayasa bisnis, dan tak ada yang mau mengambil alih tanggungjawab dan risiko untuk menjadi pebisnis bahkan menjadi pebisnis pemula. Akibatnya jumlah persentasi minimum esensial pengusaha untuk menjadikan Indonesia menjadi negara maju tak pernah mencapai 2%.

Pemerintah seolah hanya membuat kesepakatan perjanjian kerjasama, tanda tangan, selesai, dan dibiarkan begitu saja. Tidak ada kerja-kerja kontinyu dan konkret untuk menyiapkan rakyat, para pengusaha pemula yang sebagian besar adalah kelas menengah yang tengah bergeliat, UMKM-UMKM, birokrasi, rakyat kecil di daerah-daerah, para pemangku kepentingan, seluruh pihak yang terkait dan anak bangsa seluruhnya di era-era transisi ini untuk benar-benar menyambut AFTA 2015. Pemerintah seolah hanya diam menyaksikan rakyatnya berdarah-darah bertempur sendirian dalam menghadapi AFTA 2015. Dan dampaknya : banjir produk asing, perang harga dimana-mana, UMKM kalah bersaing, PHK dimana-mana, pengangguran massal menjadi wajah sosial yang wajar, beban ekonomi rakyat menjadi semakin berat, jumlah pasien sakit jiwa bertambah, angka bunuh diri meningkat, kejahatan merajalela, dan gejolak sosial dimana-mana.

AFTA bisa jadi akan bermetamorfosis secara laten menjadi ancaman nasional. Tidak hanya ancaman ekonomi tapi juga ancaman sosial, budaya, dan bahkan ancaman keamanan nasional dan regional. Proyeksi dari semua kondisi ini, Indonesia sepertinya akan kalah start dalam menyambut AFTA 2015, kalah bersaing, babak belur dan terseok-seok bahkan hanya sekedar untuk sedikit mengambil benefit dari perjanjian kerjasama ini.

Satu diantara proyeksi terburuk dari AFTA 2015 adalah Indonesia hanya akan dijadikan pangsa pasar saja, sedangkan arus investasi dan modal hanya akan masuk ke negara-negara ASEAN yang menunjang adanya kemudahan melakukan bisnis seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darrussalam, dan Thailand.

Lalu cadangan optimisme semacam apa yang masih tersisa?. Jangankan kita sebagai orang awam, Kabinet pun terbelah sikapnya dalam menghadapi AFTA 2015 : ada yang optimis, dan tak sedikit yang was-was. Begitu pula para pengusaha kita di KADIN, ada yang optimis dan tak sedikit yang pesimis. Dan yang lebih parah lagi, banyak diantara pengusaha kita yang tak memahami apa itu AFTA dan tak sedikit dari mereka yang asing dengan kata AFTA bahkan AFTA 2015. Pemerintah sepertinya tengah berjudi di meja bandar yang bernama AFTA dengan Indonesia dan rakyat sebagai taruhan utamanya. Dan akibatnya sepertinya kita akan benar-benar menjadi orang asing di negeri sendiri.

Epilog

Langkah terbaik saat ini bagi Pemerintah terutama Presiden Terpilih 2014 adalah duduk sejenak. Merenung. Menjernihkan hati dan pikiran. Berpikir dengan bijak. Lalu berdiri dan bersikap tegas mengambil keputusan untuk merenegosiasi AFTA : menjadual ulang AFTA 2015 menjadi AFTA 2020 sebagaimana jadual semula. Dengan demikian setidaknya kita punya waktu 6 tahun untuk benar-benar menyambut AFTA 2020, untuk menyiapkan rakyat, birokrasi, pengusaha pemula, UMKM-UMKM, infrastruktur, jalan, transportasi massal berbasi rel, pelabuhan-pelabuhan, bandara-bandara, jaringan internet, jaringan rantai logistik, penguasaan bahasa Inggris, mengurai hambatan perizinan untuk memulai bisnis, dan seterusnya. Tidak hanya merenegosiasi waktu pemberlakuan AFTA tapi juga meredefinisi dan merevisi AFTA itu sendiri. Dengan demikian AFTA benar-benar bisa bertransformasi dari hanya sekedar ASEAN Free Trade Area menjadi ASEAN Fair Trade Area. Tidak hanya secara harfiah redaksional tapi juga secara hakikat makna .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline