Lihat ke Halaman Asli

Jika Aku Jadi Dirut PLN

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika Aku Jadi Dirut PLN, maka aku akan mengubah pola subsidi listrik pada masyarakat khususnya pada Rumah Tangga, dari subsidi tak langsung menjadi subsidi langsung, dari subsidi barang menjadi subsidi orang, dari subsidi ke listrik menjadi subsidi ke pelanggan.

Apa itu semua ? Apa itu subsidi tak langsung menjadi subsidi langsung? Apa itu subsidi barang menjadi subsidi orang?, Apa itu subsidi dari ke listrik menjadi subsidi ke pelanggan?. Pada intinya ketiga subsidi tersebut memiliki makna yang sama. Akar gagasannya adalah ‘subsidi tak langsung menjadi subsidi langsung’, batang operasionalnya adalah ‘subsidi barang menjadi subsidi orang’, dan buah aplikasinya adalah ‘subsidi dari ke listrik menjadi subsidi ke pelanggan’.

Selama ini Negara melalui Pemerintah melakukan subsidi listrik berupa subsidi tak langsungke barang yaitu listrik itu sendiri berupa kebijakan harga listrik campuran atau harga listrik bersubsidi. Tiap 1 Kwh PLN menjualnya kepada masyarakat / rumah tangga dengan harga yang telah disubsidi. Jadi listrik yang sampai ke rumah tangga adalah listrik dengan harga campuran, yaitu harga keekonomian listrik dicampur dengan subsididari Negara. Dengan demikian, harga listrik yang sampai ke masyarakat lebih rendah daripada harga keekonomiannya. Misal tiap 1 Kwh listrik, harga keekonomian listrik PLN adalah sebesar Rp. 100. Jika subsidi Negara untuk tiap 1 Kwh adalah sebesar Rp. 25 maka harga listrik bersubsidi yang sampai ke masyarakat adalah sebesar Rp. 75.Akibatnya masyarakat akan seenenaknya sendiri dalam menggunakan listrik .

Apa dampak negatifnya?

Dampak negatifnya adalah besaran subsidi Negara pada tiap rumah tangga akan bergerak linier dan berbanding lurussejalan dengan perilaku masyarakat dalam menggunakan listrik. Dengan demikian besaran subsidi akan tergantung pada banyak sedikitnya jumlah listrik yang digunakan masyarakat. Hal ini sangat buruk, mengingat perilaku sebagian besar masyarakat kita yang apatis, tidak peduli, dan tidak bertanggungjawab terhadap penggunaan listrik.Akibat lanjutannya , kampanye-kampanye gerakan hemat listrik tidak mempan, tak berbekas dalam benak dan jiwa masyarakat.

TV nyala terus meski tidak ada yang menonton, lampu luar nyala terus meski sudah siang bolong, radio nyala terus sampai pagi meski ditinggal tidur, kipas angin dan AC nyala terus meski tidak ada orang di ruangan tersebut, kulkas nyala terus meski isinya kosong tak ada apapun, dispenser nyala terus meski tak ada yang buat teh panas, arsitektur rumah tak diperhatikan akibatnya meski siang hari terang benderang tetap saja perlu lampu untuk penerang ruangan. Semua nyala, tapi tak ada yang memakai, sia-sia, tak efisien, buang-buang listrik. Kampanye-kampanye gerakan hemat listrik telah kehilangan konteks dan sasaranya.

Skema subsidi langsung adalah dengan memberikan besaran subsidi yang tetap (fixed), baik dalam bentuk nominal uang atau kuota listrik yang tetap dengan cara memisahkan harga keekonomian dengan besaran subsidi listrik. Besaran subsidi dari Negara dan harga kekonomian listrik dari PLN adalah dua entitas yang berbeda. Jadi harga listrik yang sampai ke masyarakat adalah harga keekonomian dari PLN, dan besaran subsidi Negara yang dibuat dengan besaran yang tetap akan digunakan sebagai pengurang tagihan total akhir bulan. Idenya adalah membuat subsidi listrik dengan besaran yang tetap pada tiap rumah tangga sasaran tertentu dan dengan demikiaan besaran subsidi tidak linier dan tidak berbanding lurus dengan perilaku masyarakat dalam menggunakan listrik.

Tujuan dari skema subsidi langsung adalah untuk merekayasa perilaku masyarakat dalam menggunakan listrik dengan cara instrument intervensi skema subsidi agar kebiasaan dan pola-pola konsumsi listrik masyarakat berubah menjadi bertanggungjawab. Jika subsidi langsung dijalankan pada awalnya masyarakat akan dipaksa dengan sistem ini agar bisa bijak, arif, dan bertanggungjawab dalam menggunakan listrik. Dampak positifnya, kampanye-kampanye gerakan hemat listrik akan lebih didengar oleh masyarakat, kampanye-kampanye agar lebih bijak dan bertanggungjawab dalam menggunakan listrik akan konteksual dan tepatsasaran. Bisa jadi akan ada rumah tangga yang tidak perlu membayar tagihan listrik tiap bulan karena perilaku konsumsi listriknya tidak melampaui besaran subsidi yang ditanggung oleh Negara, karena begitu hematnya. Dan di masa depan hal ini diharapkan akan mampu mengawali terbentuknya kebiasaan, perilaku, dan budaya yang baru pada masyarakat yaitu budaya listrik yang baru (electrical culture) berupa perilaku dan kebiasaan pola-pola konsumsi listrik yang hemat, efisien, bijak, arif, dan bertanggungjawab.

Memang ini bukanlah kewenangan dan domain dari Dirut PLN, bahkan Dirut PLN sama sekali tak punya kuasa atas hal tsb. Kewenangan ini hanya ada pada Presiden dan DPR. Justru karena ini bukan kewenangan Dirut PLN, maka Dirut PLN mempunyai ruang kemungkinan untuk memperjuangakan gagasan ini kepada atasanya, yaitu Meneg BUMN, Menteri BUMN, dan kabinet. Jika kabinet sudah setuju maka langkah selanjutnya adalah menyakinkan Presiden. Jika Presiden sudah setuju maka dengan dukungan Presiden maka semoga DPR bisa diyakinkan.

Ini memang tak mudah, ini tentang political will, ini tentang kehendak politik. Yang diinisiasi oleh leadership will, kehendak kepemimpinan di jajaran badan direktur PLN, terutama dari dalam diri Dirut PLN itu sendiri. Dirut PLN perlu mengambil inisiatif kepemimpinan ini dan menerjemahkannya dalam kerja-kerja kepemimpinan di level kebijakan. Agar masyarakat kita mempunyai kesadaran baru, mempunyai budaya baru dalam perilaku dan pola-pola konsumsi listrik, mengingat masih banyak daerah Indonesia yang belum teraliri listrik. Dengan budaya listrik yang baru yang hemat, maka kelebihan listrik bisa disalurkan ke daerah-daerah gelap listrik tersebut di seluruh Nusantara.

Selamat HUT ke-69 untuk PLN, semoga menjadi Listrik Penerang Peradaban Negeri.

Dari blog untuk listrik demi kehidupan yang lebih baik. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline