SAYA kira semua kita sepakat terhadap pernyataan yang disampaikan oleh Bapak Muhadjir Effendy (Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) dalam webinar internasional yang diselenggarakan oleh Institut Leimena dan Maarif Institute pada bulan lalu (27/6/2023), bahwa saat ini dunia menghadapi tantangan besar dalam bentuk ujaran kebencian, yang semakin merajalela dan semakin sulit dikendalikan.
Adalah benar, bahwa ujaran kebencian yang tidak terkendali berpotensi pada terjadinya konflik dan kekerasan --yang pada akhirnya bermuara pada perpecahan bangsa. Wabil Khusus negara kita Indonesia, yang memiliki tingkat keragaman yang tinggi, dimana secara kondisi sosio kultural yang beragam dan juga secara geografis yang luas.
Alwi Shihab dalam Islam Inklusif (1998: 40), menyebutkan Indonesia saat ini memiliki sebanyak 1.300 pulau besar dan kecil, dengan populasi penduduknya lebih dari 200 juta jiwa, yang terdiri dari 300 suku dan menggunakan hampir 200 bahasa berbeda, serta menganut agama dan kepercayaan berbeda, seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, dan berbagai aliran kepercayaan.
Indonesia membutuhkan strategi dan kemampuan bijak mengelola dalam keberagaman tersebut. Sejatinya, keragaman itu anugerah yang perlu dijaga dan dikelola agar tidak berubah menjadi bencana konflik dengan kekerasan. Namun demikian, tidak semua entitas masyarakat sadar akan pemahaman itu.
Adanya program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB), saya kira, sudah sangat membantu dalam membumikan dan mempromosikan pemahaman --dan juga praktik di masyarakat mengenai nilai-nilai yang mengarah pada kecintaan akan persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa dan makhluk manusia di muka bumi ini. Sikap toleransi, empati sosial, serta nasionalisme merupakan tiga contoh sikap yang menjadi bangunan jembatan antar kelompok masyarakat. Baik itu kelompok budaya, kelompok agama, maupun kelompok sosial lainnya.
Praktik LKLB di Sukma Bangsa
Sebagai seorang pengajar dan pembelajar, saya merasa sangat tercerahkan oleh keikutsertaan dalam program LKLB ini. Apalagi mengingat sekolah tempat saya mengabdi yakni Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh, di mana siswanya terdiri dari beragam latar belakang berbeda. Tidak hanya berbeda secara keluarga, kampung, suku, tapi juga agamanya.
Dalam survei sederhana saya, di Sekolah Sukma Bangsa Pidie, selain suku Aceh yang mayoritas dan suku-suku lain yang berada di wilayah Aceh seperti suku Aneuk Jamee, Suku Tamiang, Suku Haloban, di Sukma juga ada siswa dari suku Jawa, dan juga Tionghoa. Disamping itu, secara agama penganut Muslim menjadi mayoritas di Sekolah ini, sementara sisanya adalah Hindu Budha (agama siswa yang beretnis Tionghoa).
Saya berpandangan, bahwa di era sekarang peserta didik mesti ditempa untuk menjadi, selain dia taat dalam beragama, ia harus memiliki karakter yang berkebhinekaan global yang salah satunya toleransi. Sementara guru, sebagai agen perubahan bertanggung jawab untuk mengajarkan tradisi berpikir kritis dan menghormati perbedaan kepada para muridnya. Karena itu, guru harus mencari ide dan membuat kreasi pembelajaran guna mengejewantahan pemahaman kepada muridnya, bahwa perbedaan itu bagian dari kodrat alam sebagai anugerah yang harus dikelola, bukan sebagai sumber masalah yang kemudian menghadirkan permusuhan.
Maka itu, di sekolah, saya sering mengajak para siswa di kelas untuk mengadakan momen sarapan pagi bersama. Para siswa di kelas saya bebaskan dan saya dorong untuk berinisiatif mengatur jenis makanan yang dibawa bersama-sama pada hari yang sudah ditentukan ke sekolah. Nah ternyata, melalui kegiatan sarapan pagi, yang sederhana itu, aura-aura sekat yang sebelumnya ada, menjadi hilang dengan sendirinya, khususnya pada siswa yang merasa dirinya berasal dari kalangan minoritas.
Tak hanya itu, setelah mengikuti program LKLB, saya sering membangun ruang diskusi dengan teman-teman guru lainnya, tidak hanya guru yang mengajar mata pelajaran Agama, PPKn, atau mata pelajaran Ilmu Sosial saja, namun juga mata pelajaran lain. Hal ini saya saya lakukan guna membangun pemahaman yang sama dan juga aksi nyata di sekolah dalam rangka promosi pemahaman literasi keagamaan lintas budaya. Tentu diskusinya tidak selalu bersifat formal, melainkan diskusi ringan saja dengan waktu yang tidak menentu tapi mengarah pada tema keberagaman, semisal saat makan bersama di sekolah pada siang hari, saat jeda waktu atau selesai kegiatan belajar dan mengajar pagi, di jam istirahat, dan saat ada waktu-waktu luang lainnya. Saya yakin, di tangan para guru yang kreatif, kesadaran pada keberagaman akan hadir dalam setiap mata pelajaran yang diampu oleh mereka.