Oleh Timbul Nadeak
Di Kedai Tuak Martohap selalu ada beberapa orang lelaki---biasanya 4 sampai 5 orang---yang bercakap-cakap sambil minum tuak. Selalu ada cerita yang mereka percakapkan. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak. Karena mereka bercakap-cakap dengan suara tinggi, maka semua tamu di kedai tuak itu tahu apa yang sedang mereka tertawakan. Tapi ada pula cerita yang mereka percakapkan dengan suara rendah. Kalau bercakap-cakap seperti itu, mereka pasti menggeser gelas dan botol tuak masing-masing ke tengah meja agar dapat menyimak sambil melipat kedua tangan di atas meja.
Dua jam sebelum tengah malam, biasanya Pita mulai sibuk mengelap sisa-sisa makanan dan tuak yang tertumpah di atas meja. Membersihkan dan merapikan kursi-kursi merupakan isyarat bahwa dia sedang bersiap-siap untuk menutup kedai tuaknya. Satu atau dua orang tamu yang masih berada di kedainya harus bersiap-siap pula untuk pulang. Tapi pada malam itu, ada seorang lelaki beruban yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari kursinya.
Pita tersenyum ramah ketika mengamati sosok lelaki itu. Tak lama kemudian, senyumnya hilang seketika. Dia terkesima. Sekujur tubuhnya sempat bergetar ketika lelaki beruban itu membalas tatapannya.
Pita merasa pernah mengenali wajah lelaki itu. Bahkan pernah mengenali tatapannya. Dia ingin segera berlari ke kamarnya untuk membuka album masa mudanya. Dia ingin memastikan bahwa wajah lelaki beruban itu adalah wajah tua milik seorang pemuda yang pernah dikenalnya. Wajah yang sesekali masih mampu menggelorakan rindunya.
Pita tetap melanjutkan pekerjaannya dengan kepala tertunduk. Ada rasa cemas yang tiba-tiba menyergap dirinya sehingga dia segan melirik lelaki itu, tapi nalurinya memberitahukan bahwa mata lelaki itu sedang mengamati wajahnya, rambutnya, dan sekujur tubuhnya.
"Aku pernah mengenal seseorang yang mirip kau."
Pita menoleh. Tanpa disadarinya, ternyata lelaki itu telah berdiri di dekatnya.
"Sekarang aku hanya bisa mengenangnya."
Pita membisu, tetapi dadanya bergemuruh.
"Maaf, aku telah mengganggu pekerjaanmu. Agar kau tak terganggu, aku akan menunggu hingga kau menyelesaikan pekerjaanmu. Setelah itu, berilah aku kesempatan untuk bicara."