Di mata mahasiswa lain, tentu sangatlah beruntung bila kita menjadi murid dengan ranking teratas di kelasnya. Murid tersebut seringkali dipuji oleh teman-temannya bahwa ia sangatlah pintar.
Selain itu, dosen-dosen juga menanggapi murid tersebut dengan lebih serius. Juga, nilai-nilainya sangatlah baik, yang umumnya dapat memberikan kepuasan baik untuk diri sendiri dan dosen. Nilai-nilai yang memuaskan tersebut jugalah dapat memudahkan mahasiswa tersebut untuk melajnjutkan studi ke S2, serta untuk mendapatkan pekerjaan pertamanya setelah kuliah. Dan, di universitas saya, murid dengan nilai tertinggi di kelas akan mendapatkan beasiswa yang mengurangi biaya kuliah untuk semester berikut sebesar 25 persen. Tetapi, menurut saya, menjadi murid dengan ranking tertinggi di kelas tidaklah selalu enak, paling tidak menurut saya.
Saya sendiri sebenarnya bukan murid yang paling pintar di kelas sejak SMP hingga kuliah. Tetapi, teman-teman saya yang (menurut saya) jauh lebih pintar dari saya pun (dalam nilai) menganggap saya pintar, dan beberapa teman saya juga menanyakan pelajaran yang tidak mengerti kepada saya. Stigma murid pintar itulah yang membuat saya merasa menjadi salah satu murid top dari mulai SMP hingga saat ini. Saya pun selalu bertekad untuk menjadi murid dengan nilai terbaik mulai dari SMP. Tetapi, tekad itulah yang membangunkan sisi gelap dalam diri saya, terutama pada saat kuliah saat ini.
- Pertama-tama, saya menjadi murid yang terlalu terpaku dengan nilai. Setiap kali saya hanya mendapatkan nilai di bawah ekspektasi saya (biasanya 60 hingga 70), saya pun merasa sangat kecewa (paling tidak jauh lebih kecewa dibanding teman-teman lainnya). Pernah, di saat saya SMA, saya hanya mendapatkan 50 di tes Kimia dan Biologi berturut-turut. Saya pun langsung mengamuk di kelas, menangis tersedu-sedu di kelas, hingga saya mengurung diri di dalam toilet karena nilai tersebut. Saya juga pernah ditegur oleh dosen saya karena memikirkan nilai.
- Kedua, saya pun selalu menjadi terlalu mengingini posisi ranking paling top di kelas. Bukan hanya nilai saja, tetapi juga hal lainnya, seperti kemampuan bersosialisasi, seberapa aktif dalam kelas, dan sebagainya. Terkadang, bila nilai saya lebih rendah dari murid top lainnya (yang umumnya lebih pintar dari saya), saya pun kecewa, berpikir: "Kenapa saya tidak dapat mengalahkan nilai X ya?" Saat saya sendirian di kamar, saya pun selalu berkhayal bahwa saya menjadi murid top di kelas. Poin kedua ini yang terutama menjadi beban berat bagi saya. Bahkan , jika teman tersebut dapat menemukan jawaban untuk pertanyaan yang sulit, sedangkan saya tidak, saya pun menganggap diri saya bodoh dibanding teman saya. Karena hal itu, saya pun memiliki tendensi untuk meniru perilaku teman saya yang pintar tersebut. Contohnya, teman saya yang pintar aktif bertanya di kelas. Agar saya tidak kalah aktif dibanding teman saya, saya pun ikut-ikutan bertanya ke dosen pada pelajaran tersebut. Dosen saya pun tahu akan perilaku saya tersebut, dan menasihati saya untuk tidak menjadi follower untuk mahasiswa top tersebut (dengan kata lain, saya mengikuti apa yang mahasiswa top tersebut lakukan).
Karena dua hal tersebut, saya pun terkadang merasa murung, mengapa saya tidak sepintar murid tersebut ya. Pikiran saya pun terkadang menjadi panas, merasa tidak tenang karena tidak dapat menjadi murid terbaik di kelasnya. Dosen saya melihat saya terlihat sebagai mahasiswa yang sangat terbeban, yang umumnya disebabkan oleh dua hal tersebut. Saya pun terkadang berpikir bahwa nilai tidaklah penting, juga melihat berita di internet tentang kesuksesan orang yang bahkan drop out dari universitasnya, tetapi masih belum berhasil untuk menghilangkan sisi gelap dari dua hal tersebut.
Untuk mahasiswa-mahasiswa lainnya, saya tidak bermaksud untuk mengajak kalian bermalas-malasan agar tidak mengalami hal yang saya sedang saya alami. Teman-teman saya yang lebih pintar dari saya pun tidak merasa terbeban sama sekali dengan nilai. Bahkan, saat dosen saya salah menilai hasil ujian untuk salah satu teman saya yang paling pintar itu, dia tetap saja kalem, dan berkata bahwa tidak perlu dikoreksi ulang. Tetapi, janganlah menjadi seperti saya bila kalian sering mendapat hasil yang memuaskan di studi kalian.
Bekerja keraslah, tetapi jangan terlalu terpaku terhadap nilai. Tetaplah belajar, tetapi luangkanlah waktu untuk beristirahat dan bersosialisasi dengan teman-teman lainnya. Dan seperti teman saya katakan, di dunia kerja, perfoma kitalah pada saat kerja yang akan dinilai, bukan nilai pada saat SMA atau kuliah. Bila teman-teman saya ada yang melihat tulisan saya ini, saya mohon doanya dari kalian semua agar saya dapat berubah dan tidak memikirkan apa yang teman saya raih untuk testnya. Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih.
Timothy Aditya Sutantyo
Mahasiswa IT Swiss German University Angkatan 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H