Lihat ke Halaman Asli

Timotius Apriyanto

OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Peradaban Arkipelagis: Refleksi & Otokritik Kebudayaan

Diperbarui: 23 Januari 2025   11:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Nusantara | sumber: jiwamudaindo.com

Istilah "arkipelagis" bukan sekadar merujuk pada realitas geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, tetapi juga menggambarkan kekayaan dan dinamika kebudayaan yang saling terhubung. 

Keberagaman budaya di nusantara adalah warisan yang terus membentuk identitas bangsa. Dalam refleksi ini, penting untuk mengaitkan konsep kebudayaan arkipelagis dengan teori kebudayaan global, pandangan para tokoh dunia, dan pemikiran Hilmar Farid tentang pemajuan kebudayaan nusantara.

Kebudayaan Arkipelagis dalam Perspektif Hilmar Farid 

Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Indonesia, yang akan segera memasuki purna tugas melihat kebudayaan sebagai pusat pembangunan bangsa. Dalam pidatonya terkait Pemajuan Kebudayaan (2017), ia menekankan bahwa kebudayaan nusantara harus dipahami sebagai sebuah proses yang hidup, dinamis, dan partisipatif. Pemajuan kebudayaan, menurut Hilmar, bukan hanya soal pelestarian, tetapi juga bagaimana kebudayaan bisa menjadi ruang dialog untuk menyelesaikan persoalan-persoalan besar bangsa, termasuk keberagaman, kesenjangan sosial, dan tantangan globalisasi.

Hilmar Farid juga memandang pentingnya melibatkan masyarakat dalam membangun kebudayaan. Dalam konteks arkipelagis, kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari interaksi antarwilayah, yang telah membentuk pola-pola adaptasi unik di berbagai komunitas. Perspektif ini sejalan dengan teori Claude Lvi-Strauss dalam Tristes Tropiques (1955), yang menyebut bahwa kebudayaan adalah hasil dari interaksi manusia dengan lingkungannya, termasuk adaptasi terhadap kondisi geografis dan sosial.

Pandangan Teoretis dan Global 

Pandangan Hilmar dapat disejajarkan dengan beberapa pemikir besar dunia. Salah satunya adalah Arysio Santos dalam Atlantis: The Lost Continent Finally Found (2005), yang menyatakan bahwa Indonesia adalah kawasan yang mungkin menjadi pusat peradaban Atlantis. Menurutnya, kekayaan budaya arkipelagis menunjukkan bahwa wilayah ini telah lama menjadi pusat interaksi budaya dunia. Perspektif ini menggarisbawahi pentingnya memahami Indonesia bukan hanya sebagai negara modern, tetapi juga sebagai pewaris peradaban besar.

Peradaban memiliki siklus, di mana kelahiran dan kemunduran suatu kebudayaan sangat dipengaruhi oleh kemampuan masyarakatnya untuk mempertahankan identitas budaya, seperti diungkapkan Oswald Spengler dalam bukunya "The Decline of the West (1918)." Kebudayaan arkipelagis, dengan akar tradisinya yang kuat, dapat menjadi sumber kebangkitan peradaban manusia jika dilestarikan dengan bijak dalam atmosfer kemerdekaan berekspresi untuk pemajuan kebudayaan yang progresif.

Pandangan ini diperkuat oleh John Stuart Mill dalam On Liberty (1859), yang menekankan pentingnya kebebasan berekspresi sebagai landasan bagi perkembangan dan pemajuan kebudayaan. Di Indonesia, meski kebebasan berekspresi diakui dalam demokrasi, realitasnya sering kali dibatasi oleh tekanan politik, sosial, dan ekonomi, sehingga banyak ekspresi budaya yang autentik termarginalkan. Hal ini menjadi tantangan besar dalam pemajuan kebudayaan nusantara.

Edward Said dalam Orientalism (1978) juga memberikan kritik terhadap bagaimana budaya-budaya Timur, termasuk Indonesia, sering kali dipandang dari perspektif luar yang bias. Hal ini mencerminkan bagaimana budaya sering kali dikomodifikasi untuk memenuhi kebutuhan pariwisata atau narasi global lainnya yang berorientasi pasar, tanpa memperhatikan konteks nilai-nilai asli yang terkandung di dalamnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline