Lihat ke Halaman Asli

Timotius Apriyanto

OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Patologi Demokrasi Diakhir Pemerintahan Jokowi

Diperbarui: 31 Agustus 2024   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(KOMPAS.com / FITRI RACHMAWATI)

Seiring mendekatnya akhir masa jabatan Presiden Jokowi, banyak yang mulai mengkritisi warisan yang akan ditinggalkan oleh pemimpin yang telah dua periode memimpin Indonesia. 

Di satu sisi, Jokowi dikenal sebagai sosok yang berhasil mendorong pembangunan infrastruktur dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, pemerintahannya juga menghadapi sejumlah kritik, khususnya terkait dengan kondisi demokrasi di Indonesia yang dinilai mengalami kemunduran. Kompleksitas permasalahan yang muncul di Indonesia seperti konflik sosial, dan korupsi merupakan gejala yang menunjukkan keadaan bahwa demokrasi kita sedang sakit. 

Demokrasi yang sedang sakit, pasti disebabkan oleh penyakit demokrasi. Analogi penyakit demokrasi dalam berbagai paradox demokrasi memunculkan konsep "Patologi Demokrasi". Kata patologi berasal dari kata Yunani "pathos", yang berarti "penderitaan", dan "--logia", yang berarti "studi tentang". Arti harafiah Patologi adalah studi tentang sebab dan akibat penderitaan dari sebuah penyakit termasuk kelainan struktural yang disebabkan oleh penyakit tersebut untuk keperluan diagnostik atau forensik. Patologi Demokrasi bisa kita maknai sebagai suatu studi tentang sebab dan akibat munculnya permasalahan demokrasi termasuk kelainan yang muncul sehingga banyak menimbulkan penderitaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.  

Salah satu gejala sakitnya demokrasi kita adalah bahwa kekuasaan yang dipercayakan oleh rakyat melalui sistem pemilihan umum (pemilu) sering dianggap hanya sebagai legitimasi kekuatan politik absolut. Demokrasi tampak berjalan, tetapi sebenarnya mengalami pelemahan sistemik. Kondisi pelemahan demokrasi secara sistemik ini bisa menjadi ancaman serius terhadap matinya demokrasi. Kematian demokrasi bisa dilihat dari munculnya perilaku otoriter penguasa, seperti ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dari Universitas Harvard dalam bukunya "How Democracies Die" (2018), yang menjabarkan empat Indikator perilaku otoriter :

1. Penolakan (atau komitmen lemah terhadap) aturan main yang demokratis.
2. Penyangkalan legitimasi lawan politik
3. Toleransi atau dorongan terhadap kekerasan.
4. Kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.

Beberapa catatan pelemahan sistemik demokrasi antara lain :

1. Konsolidasi Kekuasaan dan Melemahnya Oposisi
Salah satu ciri utama dari patologi demokrasi yang terlihat dalam pemerintahan Jokowi adalah konsolidasi kekuasaan yang semakin terpusat. Hal ini tampak dari pembentukan koalisi besar yang mencakup hampir seluruh partai politik besar, meninggalkan oposisi yang sangat lemah. Akibatnya, sistem checks and balances yang menjadi pilar penting dalam demokrasi modern menjadi tidak efektif. Tanpa oposisi yang kuat, pemerintah cenderung kurang mendapat tantangan dalam setiap kebijakannya, yang pada akhirnya dapat berdampak buruk pada kualitas pengambilan keputusan.

2. Regulasi yang Membungkam Kritik
Patologi demokrasi juga terlihat dalam penggunaan regulasi untuk membungkam kritik terhadap pemerintah. Penerapan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) sering kali menjadi instrumen untuk menekan suara-suara kritis, termasuk aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil. Alih-alih menjadi ruang publik yang bebas, internet dan media sosial justru menjadi medan pertempuran di mana kritik terhadap pemerintah sering kali berujung pada penangkapan atau kriminalisasi.

3. Pengaburan Batas Antara Negara dan Korporasi
Fenomena lain yang mengindikasikan adanya patologi demokrasi adalah semakin kaburnya batas antara kepentingan negara dan korporasi. Kebijakan pemerintah yang cenderung pro-korporasi, seperti pengesahan UU Cipta Kerja, menunjukkan bagaimana kekuasaan eksekutif lebih mengutamakan kepentingan bisnis besar dibandingkan dengan perlindungan terhadap buruh dan lingkungan. Ini menjadi indikasi bahwa kekuasaan politik tidak lagi berfungsi sebagai pelindung kepentingan rakyat, melainkan lebih menjadi fasilitator bagi kepentingan modal.

4. Demokrasi Prosedural Nir Substansi
Di bawah pemerintahan Jokowi, demokrasi Indonesia tampak bergerak menuju apa yang disebut sebagai "demokrasi prosedural", di mana elemen-elemen formal demokrasi seperti pemilihan umum tetap berlangsung, tetapi substansi demokrasi yakni perlindungan hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan keterlibatan masyarakat semakin terabaikan. Kegagalan dalam memberikan ruang partisipasi yang bermakna bagi masyarakat, serta kecenderungan untuk memusatkan kekuasaan pada elit politik, membuat demokrasi Indonesia kehilangan esensinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline