Banyak pihak yang keliru menghitung Jokowi sebagai loyalis dan petugas partai. Jokowi adalah sosok figur politisi cerdas dan kuat yang punya popularitas dan elektabilitas besar diluar perkiraan partai.
Dalam sistem politik elektoral untuk memilih pemimpin nasional, butuh partai politik sebagai bagian dari demokrasi prosedural yang dijalankan melalui mekanisme pemilihan presiden.
Saat figur calon presiden sangat kuat, bisa jadi justru partai politik digendong oleh figur calon presiden. Posisi kekuatan politik presiden Jokowi pada periode pertama 2014 tentu sangat berbeda dengan periode kedua tahun 2019 yang bahkan berbagai media menyebutkan sudah mencapai tingkat kepercayaan publik 80%.
Pasca 2019, kekuatan politik dan kekuatan pengaruh Jokowi sudah "beyond control" PDIP. Cerdiknya Jokowi, dia tetap diam sambil mengukuhkan pengaruh dia di partai politik di luar PDIP.
Satu demi satu partai politik dijinakkan dengan sangat cerdas. Kekuatan figurnya bisa menaklukan 9 partai politik peserta pemilu 2024.
Gaduh politik dinasti muncul pasca keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang akhirnya memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo.
Ketua Mahkamah Konstitusi adalah paman dari sang calon wapres yang putra presiden Joko Widodo. Kegaduhan ini kira-kira muncul akibat gegar budaya politik dalam tata negara Republik Indonesia.
Amanat para pendiri bangsa Indonesia jelas untuk mendirikan sebuah negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, dengan bentuk Republik bukan dalam bentuk sebuah kerajaan.
Sistem kepemimpinan kerajaan yang turun-temurun oleh karena faktor hereditas kita kenal dengan dinasti atau wangsa. Kerajaan Mataram Kuno memiliki sejarah 2 wangsa yang bertahta pada zamannya yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra.
Politik dinasti di Negara Indonesia saat ini menurut "common sense" kita, jelas sudah mengkhianati para founding fathers dan agenda utama gerakan reformasi 1998.