Lihat ke Halaman Asli

Timotius Apriyanto

OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Simalakama Covid-19, Pasung, dan Tarian

Diperbarui: 9 Mei 2020   06:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: naiknya angka pasien. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

Wakil presiden Course Hero (salah satu platform pembelajaran online), Tomas Pueyo menulis tentang situasi dilematis  saat pandemi covid-19 ini dengan perumpamaan antara Palu dan Menari dalam artikel  "Coronavirus: The Hammer and the Dance". 

Cara yang paling tepat untuk mencegah perkembangan mata rantai penularan adalah dengan melakukan karantina yang membutuhkan "palu". Pilihan sulit untuk menjalankan kebijakan pembatasan sosial yang berdampak meluas pada hampir semua aspek kehidupan. Pilihan kontras itu digambarkan seperti Palu dan Tarian.

Ungkapan senada dengan ekspresi dilematis tersebut kita kenal sebagai "Buah Simalakama". Situasi pembatasan sosial membutuhkan "pasung". Arti harafiah pasung dalam KBBI adalah alat untuk menghukum orang, berbentuk kayu apit atau kayu berlubang, dipasangkan pada kaki, tangan, atau leher.

Pembatasan Sosial Berskala Besar ibarat pasung, bukan untuk menghukum namun untuk menyelamatkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat.

Pandemi Covid-19 bisa digambarkan seperti "tidal wave" Tsunami yang terjadi dalam periode waktu panjang. Gelombang pandemi akan terdiri dari satu gelombang besar dan gelombang lain yang terus mengecil sampai energi gelombangnya mendekati nol.

Kebijakan penanganan badai covid seharusnya terintegrasi dalam sistem komando yang efektif dan efisien.

Akibat kebijakan sektoral yang tidak terintegrasi akan sangat rentan terhadap terbukanya risiko gelombang kasus covid-19. Kita semua ingin bentuk kurva kasus covid landai.  

Ibarat gelombang, karakteristik kurva penularan pasti tidak hanya terdiri satu gelombang besar terus menghilang, melainkan akan ada gelombang ke-2 sampai gelombang ke-n yang semakin melandai.

Bila gelombang pertama kasus belum selesai tetapi kebijakan physical distancing terburu-buru dilepas maka bahayanya justru puncak second wave akan bisa jadi lebih besar dari kurva gelombang pertama.

Tarik ulurnya tentu antara kepentingan kesehatan masyarakat dengan kepentingan ekonomi, yang keduanya tidak bisa dipisahkan atau lebih diprioritaskan daripada yang lain. Ibarat memakan buah simalakama, namun pilihan harus tetap diambil.

Ada kebijakan kemenhub untuk penjabaran pembatasan akses transportasi, namun diksi yang dicatat media terasa seperti melonggarkan mobilitas moda transportasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline