Gubernur NTT Victor Laiskodat mungkin tidak pernah menduga bahwa Selasa, 15 Mei 2020 ia akan menghadapi aksi protes ibu-ibu yang bertelanjang dada. Victor sempat tampak marah menghadapi aksi itu. Tetapi ibu-ibu masyarakat adat Pubabu mungkin lebih marah lagi.
Menurut pemberitaan Pos Kupang (15/05/2020), Victor Laiskodat tidak punya agenda mendatangi resort peternakan Besipae yang berdiri di lahan sengketa antara Pemprov NTT dengan Masyarakat Adat Pubabu di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Victor dan rombongan sedang dalam perjalanan pulang dari kunjungannya ke Bena ketika ia melihat kerumunan orang saat melintasi kawasan Besipae.(1)
Victor memerintahkan rombongan untuk singgah. Begitu ia turun dari mobil, rakyat menyambutnya dengan protes histeris. Kaum ibu membuka baju dan bra sambil berorasi menetang klaim lahan mereka oleh pemerintah Provinsi NTT.
Aksi telanjang dada para ibu masyarakat adat Pubabu bukan baru pertama kali. Pada 17 Februari 2020, mereka juga melancarkan aksi barikade tubuh telanjang dada saat menyandera dua mobil milik Pemprov NTT sebagai bentuk protes terhadap penyampaian Gubernur NTT agar mereka meninggalkan lokasi.
Aksi tersebut bikin repot aparat polisi, mereka gagal merebut kembali mobil dan baru keesokan hari masyarakat melepaskannya.
Aksi pengorbanan kehormatan diri seperti ini mencerminan rasa putus asa rakyat menghadapi kekuasaan yang mereka nilai arogan dan semena-mena mengangkangi hak mereka. Sengketa lahan antara Pemerintah Provinsi NTT dan Masyarakat Adat Pubabi memang sudah kronis, terjadi puluhan tahun lamanya dan hingga kini belum menemukan jalan keluar yang adil bagi rakyat.
Bagaimana Mulanya?
Masalah ini berakar panjang, bermula pada masa Orde Baru, 1982. Saat itu Pemerintah Provinsi bekerjasama dengan Pemerintah Australia hendak membuka proyek percontohan intensifikasi peternakan selama 5 tahun.
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Australia menghendaki proyek tersebut menggunakan hutan adat Pubabu.
Hutan adat Pubabu merupakat wilayah adat masyarakat yang bernaung di bawah pemerintahan adat Kerajaan Polo dengan rajanya Pae Nabuasa, yang dibantu empat tetua adat (amaf), yaitu Tefu, Manao, Biaf, dan Kabnani.
Penetapan Pubabu sebagai Hutan Adat dilakukan pada 1927, sebagai kesepakatan antara Raja Nabuasa, Pemerintah Kolonial Belanda dan para amaf (tetua adat). Saat itu luas lahan yang disepakatti sebagai hutan adat adalah 2.674,4 hektar.[2]