Sudah sepekan lalu ketika tangan lembut meski penuh keriput membelai-belai rambut di kepalaku sambil dendangkan nina bobo. Aku merasa dengan belaian dan lagu itu ia ingin bilang, semua akan baik-baik saja.
Aku membalikkan tubuh, rebah menyamping agar bisa lebih utuh memandang wajahnya. Tatapanku jatuh pada sepasang bola mata penuh cinta itu. Saat itu aku tahu, tidak semua baik-baik saja.
Sore tadi, di pingir jalan di depan rumah, mengitari gerobak pedagang sayur, ibu-ibu tetangga ramai bergunjing tentang 1 pasien positif Corona di kota kami.
Mereka bikin rencana, oh bukan, mereka memutuskan bertindak saat itu juga untuk beramai-ramai menyerbu supermarket, membeli tisu, gel cuci tangan, masker, odol, sabun, mie rebus, dan segala macam saja barang-barang yang menurut mereka harus diamankan persediannya di dapur-dapur mereka.
Ia tidak bicara sepatah kata, hanya mendengar ocehan ibu-ibu itu tanpa menimpali. Tetapi cemas bertengger di matanya.
Ia menggeleng lambat ketika mereka mengajaknya turut.
Setelah sepi, ibu-ibu tadi sudah beramai-ramai ke supermarket, ia masuk ke dalam. Aku mengikuti langkahnya dari belakang, hingga ke kamar tidur.
Ia membuka almari kayu, meraih dompet kain berwarna entah apa, sudah pucat pupus oleh usia, dan membukanya.
"Hanya cukup untuk beras pekan depan," katanya kepada diri sendiri sembari menatapku.
***