Lihat ke Halaman Asli

George

TERVERIFIKASI

https://omgege.com/

Cerpen | Lelaki Penulis yang Menikahi Imajinasi Sendiri

Diperbarui: 6 Maret 2020   05:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[afb.org]

"Ehem. Itu  Anne, bersama mantan muridnya, Helen," kata saya, memancing percakapan setelah berdiri di sisi seberang mejanya.

Ia  kaget; buru-buru memalingkan kepala dan tatapan dari jendela kedai; sejenak kembali ke buku catatan bersampul kulit sapi, sebelum menatap saya dengan gugup.

Dalam kosa kata generasi X hingga angkatan awal milenial, itu buku agenda, bentuk lebih formal dari diari dan notes namun kerap berfungsi serupa. Mungkin karena buku seperti itu sering digunakan oleh orang-orang sibuk untuk menulis janji-janji pertemuan dan deadline tuggas-tugas penting. Tetapi lebih banyak yang menggunakannya untuk menuliskan penggalan-penggalan kesadaran, informasi, atau apapun itu yang sekelebat muncul di kala senggang pun refleksi di ujung malam.

"Apa yang sedang kautulis?"

"Errr, cuma beberapa paragraf singkat yang pecah ... err lebih pas letupan-letupan gagasan yang akan ditempelkan pada sebuah biografi yang akan jadi buku perdanaku."

Ia bicara sambil seolah-olah membetulkan letak kacamata. Padahal kacamata itu bergeming nyaman pada batang hidung yang tiada pernah saya lihat bercokol di wajah orang-orang Asia. Tegar seperti gundukan bukit-bukit di Raja Ampat.

Lalu jemari lengan kirinya berpindah ke rambut, membuat gerakan samar menyisir untuk menegaskan kembali demarkasi antara belahan rambut sisi kiri dan kanan, terbagi dua nyaris simetris. Tatanan rambut seperti itu hanya pernah saya lihat pada sejumlah kawan kelas semasa SD; terbatas pada mereka yang terlalu erat digenggam ibunya, yang memandang tatanan selain belah tengah adalah simbol anak badung.

Kalau mau diringkas, wajahnya perpaduan Hitler, Gramsci, Al Pacino dan Leonardo diCaprio, menghasilkan pencampuran seimbang maskulin dan feminin.

Hmmm, gerakan tanpa alasan begitu lazimnya ekspresi bawah sadar, lahir dari  kerikuhan yang menolak disembunyikan. Mungkin ia malu saat menyadari ada yang memergokinya tengah terpana pada sosok sepasang perempuan yang melintasi jendela kedai.

Lebih tepatnya, pancaran terpesona pada sepasang mata itu ditujukan pada Anne, guru lajang 35 tahun. Sementara Helen, si murid, gadis 24 tahun, dihargainya setara setangkai magnolia yang hadir khusus untuk mempercantik Anne.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline