Seseorang mengirim pesan kepada saya, "Bung, employment flexibility dalam UU Cipta Kerja itu kupikir lumayan karena dipadukan dengan aspek security. Ada aturan tentang jaminan kehilangan pekerjaan." Syukurlah jika begitu. Melihat sepintas, semula saya pikir juga begitu. Tetapi mari kita periksa lebih detil.
Saat beralih menjadi rejim fleksibilitas pasar tenaga kerja puluhan tahun lampau, sejumlah negara Eropa sudah terlebih dahulu memiliki sistem asuransi sosial yang meng-cover kondisi buruh yang kehilangan pekerjaan (unemployment benefit). Assurance chômage di Prancis sudah ada sejak akhir 1950an.
Ketika pasar tenaga kerja diliberalisasi---difleksibelkan--mereka hanya perlu perubahan sedikit, menyesuaikan asuransi yang awalnya diperuntukan bagi korban PHK, menjadi juga menanggung buruh yang kehilangan pekerjaan karena berakhirnya masa kontrak kerja. Karena itulah rejim pasar tenaga kerja di negara-negara ini sering disebut flexicurity, artinya mengimbangi fleksibilitas dengan perlindungan terhadap keamanan kerja dan keamanan penghasilan (job security dan income security).
Sepertinya para pembisik RUU Cipta Kerja ingin mengurangi dosa mereka dengan mengadopsi skema asuransi sosial ini. Draft akhir RUU Cipta Kerja menambahkan sejumlah ketentuan tentang jaminan kehilangan pekerjaan ke dalam UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Salah satu ketentuan yang ditambahkan adalah Pasal 46A, dengan ayat (1) berbunyi, "Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan." Sementara ayat (2) menyatakan, "Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan oleh badan penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan."
Ini bagus, merupakan hal baru yang tidak diatur sebelumnya. Jaminan kehilangan pekerjaan adalah salah satu bentuk upaya mengurangi income insecurity.
Tetapi problemnya, rancangan UU Cilaka hanya memuat ketentuan hak mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan bagi buruh korban PHK. Sementara problem utamanya adalah buruh kontrak dan aneka macam relasi pengupahan non-standar yang akan marak oleh pemberlakuan UU ini.
Menjadi aneh jika antisipasi yang diberikan justru bukan pada problem pokok. Tidak heran jika ada pakar yang menyebut naskah draf UU Cilaka sebagai yang paling buruk dalam sejarah penyusunan UU di Indonesia.
Tetapi marilah kita berandai-andai, tidak disebutkannya unemployment benefit bagi buruh habis kontrak---hanya bagi korban PHK---sebagai salah ketik, saltik. Atau lebih tepat menyebutnya lupa ketik, luptik, sebab salah ketik tidak biasa hingga menghilangkan satu klausul.
Apakah dengan menambahkan klausul "Pekerja/buruh yang habis masa kontrak dan tidak segera mendapatkan pekerjaan baru berhak atas unemployment benefit" persoalan akan beres?