Syukurlah, akhirnya saya dapatkan salinan draf terakhir Omnibus Law Cilaka, Cipta Lapangan Kerja atau yang sudah pemerintah ubah nama populernya menjadi UU Cipta Kerja. Membaca sepintas 1284 halaman draf ini (termasuk bagian penjelasan), kecemasan saya agak berkurang.
Kemarin-kemarin saya mengkhawatirkan undang-undang ini adalah deregulasi putus asa---sebuah regulasi bisa bersifat regulatif, bisa pula deregulatif---yang mengabdi kepada kepentingan masuknya investasi asing yang diyakini rezim menjadi satu-satunya tuhan penyedia lapangan kerja.
Membaca sepintas, kepentingan utama undang-undang babon ini lebih berupa tumbuhnya investasi di dalam negeri dari kalangan usaha mikro, kecil dan menengah. Artinya upaya mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dititikberatkan pada tumbuh kembang kewirausaan dari rakyat itu sendiri. Ini bagus.
Selain banyak kemudahaan diberikan, banyak pula pasal-pasal yang mengatur ketat agar investasi tidak liberal ugal-ugalan sehingga mengancam kemaslahatan rakyat banyak, termasuk sejumlah pasal yang mengatur hak kelompok-kelompok rakyat atas ruang dan menggungat kebijakan pembangunan dan investasi yang merugikan mereka.
Meskipun begitu, tidak terhindarkan masih banyak kecemasan timbul oleh pasal-pasal spesifik, salah satunya tentang jaminan atas kesejahteran buruh---fokus bahasan kita pada kesempatan ini. Selain bisa bikin melarat, pengaturan batas minimum upah yang diskriminatif di antara sektor dan jenis usaha dapat berdampak menciptakan jenis kesenjangan baru, yaitu antara sektor buruh kerah biru.
Padal Bab IV tentang Ketenagakerjaan, UU Cilaka mengatur perubahan, penambahan, dan pengurangan isi tiga undang-undang terkait, yaitu UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU 24/2011 tentang BPJS.
Salah satu yang mencemaskan saya adalah aturan tentang upah buruh sektor padat karya dan Usaha Mikro dan Kecil.
Pasal 88 E draft UU Cilaka menyatakan,
(1) Untuk menjaga keberlangsungan usaha dan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh industri padat karya, pada industri padat karya ditetapkan upah minimum tersendiri.
(2) Upah minimum pada industri padat karya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditetapkan oleh Gubernur.