Sekitar 10 tahun lalu, Pak Soedaryanto, tokoh ormas Pergerakan Kebangsaan, dalam suatu diskusi pernah katakan kurang lebih begini. "Salah satu sebab korupsi di Indonesia menjamur adalah watak orang tua Indonesia yang memanjakan anaknya. Orang tua bekerja keras, bahkan menghalalkan cara demi karpet merah masa depan anaknya. Si anak tak pernah diajarkan bekerja keras, semua telah disediakan baginya."
Saya tidak terlalu paham, dan karenanya kurang setuju, bagaimana karakter orang tua Indonesia yang kelewat memanjakan anak bisa menjadi akar korupsi. Meski begitu, pernyataan Pak Dar mempengaruhi saya dalam menilai tokoh-tokoh politik di Indonesia, menentukan sikap saya terhadap mereka, hormat atau mencemooh.
Saya sangka, salah satu bentuk pemanjaan anak berlebihan yang dilakukan tokoh-tokoh politik adalah dengan melibatkan putra-putri mereka dalam membangun dinasti politik tanpa terlebih dahulu menempa mereka dalam kerja-kerja politik jangka panjang.
Begitu cukup umur, tiba-tiba saja putra/putri tokoh politik sudah pegang jabatan penting dalam parpol, sudah pula digadang-gadang jadi calon kepala daerah, bahkan jadi menteri. Sedikit saja hormat saya kepada tokoh politik yang seperti ini.
Sebaliknya saya menghormati para tokoh politik yang anak-anaknya dibiarkan menekuni passion sendiri, tidak diseret-seret memanfaatkan aji mumpung membebek kesuksesan ayah-ibunya dalam lapangan politik praktis.
Inilah salah satu alasan saya menghormati Joko Widodo. Saya selalu takjub membaca berita tentang putra-putrinya, yang meski bapaknya diidolakan mayoritas rakyat, pembawaan diri mereka seperti orang kebanyakan. Lebih hebat lagi, mereka tak memanfaatkan aji mumpung, terjun ke politik praktis dan segera saja menjadi elit puncak parpol atau mencalonkan diri dalam pilkada.
Saya pernah yakin, salah satu legacy yang akan ditinggalkan Joko Widodo bagi perpolitikan negeri ini adalah teladan untuk tidak membangun dinasti politik. Jikapun kelak putra-putrinya terjun ke politik, itu nanti, setelah mereka belajar banyak hal dan mewarisi nilai-nilai kepemimpinan ayah mereka. Yah, kurang lebih seperti putri-putri Gus Dur yang luar biasa itu, yang tak sekedar putri-putri biologis, tetapi sungguh melanjutkan visi dan nilai-nilai politik kebangsaan Sang Kyai.
Ketika beberapa bulan lalu Universitas Slamet Riyadi bikin survei calon Wali Kota Surakarta 2020-2025 dan memasukkan nama Gibran dan Kaesang di dalamnya (Tempo.co, 26/7/2019), saya menyangka itu cuma genit-genitan cari muka tokoh-tokoh yang diundang peneliti dalam grup diskusi terfokus untuk memilih sejumlah nama yang akan dilempar sebagai close list kepada responden.
Ketika itu, Gibran mengomentari popularitasnya dalam survei dengan nada bercanda, "Kabari saya jika sudah waktunya." Saya senang sebab yakin ia tak tertarik.
Menanyakan Form Pendaftaran Calon Wali Kota dan Menyatakan Akan Menyerahkan Bisnis kepada Kaesang
Kini berita Gibran Rakabuming hendak maju pilkada Solo muncul lagi, terserak di banyak media warta daring. Yang bikin resah, kali ini Gibran dikabarkan memang berniat mencalonkan diri dalam pemilihan Wali Kota Surakarta 2020 mendatang.