Bawaslu terpaksa mengirimkan surat panggilan yang keempat kalinya untuk Wasekjend Partai Demokrat Andi Arief. Dengan surat tersebut, Bawaslu berharap Andie Arief dapat memberikan keterangan di Bawaslu Senin (27/08) ini. Terhadap tiga surat panggilan sebelumnya, meski menjanjikan akan hadir, Andi Arief terkesan selalu terhalangi urusan keluarga (Kompas.com, 27/08/2018).
Dengan empat kali berkirim surat, Bawaslu tampak sangat bersemangat memeriksa kasus dugaan mahar Rp 500 miliar dari Sandiaga Uno kepada PAN dan PKS.
Ada apa? Apakah Bawaslu sedang menggoreng kasus ini? Apakah Bawaslu sedang bertindak atas kepentingan lawan politik? Demikian pernyataan yang dilontarkan sebagian orang, termasuk oleh elit Partai Gerindra, Habiburokhman.
Namun pertanyaan tersebut bisa juga dibalik. Ada apa? Mengapa Andi Arief tidak segera saja memberi keterangan di Bawaslu bahwa apa yang ia dengar hanya wacana dalam brainstorming? Jika Andi bertindak demikian, tentu kasus ini sudah ditutup.
Penundaan yang dilakukan Andi Arief sehingga Bawaslu harus mengirim surat undangan hingga empat kali melahirkan kecurigaan baru, jangan-jangan ini cara Partai Demokrat meminjam tangan Bawaslu untuk menghantam parpol-parpol saingannya terutama PAN dan PKS.
Kecurigaan ini berangkat dari logika sederhana namun gamblang berikut ini.
Pemilih pada pemilu legislatif 2019 nanti pada dasarnya terbagi atas dua kelompok besar: yang puas dengan pemerintahan Joko Widodo dan yang tidak puas.
Pemilih yang puas dengan pemerintahaan Joko Widodo cenderung akan memilih parpol-parpol pendukung pencapresan Jokowi-Ma'ruf Amin. Sebaliknya pemilih yang tidak puas dan menghendaki pergantian pemerintahan akan memilih parpol-parpol di kubu oposisi alias pengusung Prabowo-Sandiaga sebagai capres-cawapres Pilpres 2019.
Agar meraih suara optimum, Partai Demokrat mungkin sadar bahwa merebut hati pendukung Joko Widodo jauh lebih sulit dibandingkan merebut hati pendukung Prabowo. Maka untuk mengoptimalkan suara pada pemilu legislatif 2019, Partai Demokrat harus mampu menunjukkan diri lebih serius dalam menjadi oposisi dan lebih tulus dalam memperjuangkan presiden baru dibandingkan PAN dan PKS.
Untuk membangun kesan itu, partai pesaing yaitu Gerindra, PAN, dan PKS harus dikesankan sebagai tidak tulus, oportunis, mendukung Prabowo-Sandiaga hanya demi kepentingan taktis golongan sempit parpolnya.
Kasus dugaan mahar Rp 1 triliun, masing-masing Rp 500 miliar dari Sandiaga Uno kepada PAN dan PKS efektif mengesankan dua parpol ini hanya mengharapkan dana pemenangan pemilu sebagai bayaran atas dukungan stempel mereka kepada Prabowo-Sandiaga.