Tidak jauh dari Batu Kauniki, benteng alam yang digunakan pahlawan perang Sonbai dalam pertempuran penghabisan melawan Belanda, bermukimlah masyarakat pemakan madu.
Tidak seperti kita yang harus berhemat agar sebotol 100 ml madu campuran dari supermarket tahan sebulan, orang-orang ini bisa menghabiskan 100 ml madu asli sekali makan. Om-Tante tak salah baca, saya memang menulis makan, bukan minum. Madu adalah komponen inti dalam pangan lokal orang-orang Desa Oh'aem I.
Jumat, 15 Juni, sekitar pukul 7, saya sudah dijemput mudik. Harfiah, saya memang mudik, menuju pedalaman. Desa Oh'aem I tujuan saya, sebuah desa di pedalaman yang 101 km jauhnya dari tempat tinggal saya.
Desa Oh'aem I tidak jauh dari Batu Kauniki, benteng alam yang jadi pertahanan terakhir Sobe Sonbai III dalam pertempuran penghabisan melawan Belanda. Di tempat inilah Sobe Sonbai III, raja kelima belas dinasti Sonbai, penguasa Timor Barat, akhirnya ditangkap Belanda pada 1905. Suatu saat kelak saya akan bercerita tentang ini.
Sebenarnya saya sedang bad mood, kesal karena seharusnya sudah dijemput sehari sebelumnya. "Om, festivalnya ditunda tanggal 15 malam, jadi Om dijemput 15 pagi. Rombongan dari Jakarta juga baru pagi itu berangkat," pesan whatsapp dari Om Zadrak Mengge, biang keramaian urusan pangan lokal di tiga desa di Amfoang. Beberapa hari sebelumnya, Om Zadrak dari Perkumpulan Pikul mengundang saya menghadiri festival pangan lokal 3 desa di Kecamatan Amfoang yang bertempat di Desa Oh'aem I.
Seperti biasanya tranportasi ke pedalaman, jalan raya ke Oh'aem sangat buruk. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan tentang itu. Tetapi sebaiknya saya buatkan artikel tersendiri, menggabungkannya dengan cerita tentang perjalanan pulang yang sungguh menegangkan. Jadi saya ringkas saja bagian perjalanan di sesi ini hingga kita sudah berada di jalan masuk Desa Oh'aem I.
Baru beberapa meter masuk perkampungan Desa Oh'em I, saya sudah takjub. Di pekarangan salah satu rumah, bulir-bulir sorgum merah tersenyum menyambut. Sorgum di pekarangan? Itu pemandangan menyenangkan bagi para pendukung pangan lokal.
"Berhenti di sini. Kalian lanjutkan saja. Nanti saya jalan kaki ke tempat acara," pesan saya kepada rombongan. Mereka pilih menunggu.
Seorang lelaki keluar dari rumah, menggendong bayi yang sedang tertidur. Istrinya tentu sedang memasak bersama ibu-ibu lain untuk kepentingan festival nanti, pikir saya. Kami berkenalan---saya lupa di mana saya simpan catatan nama bapak ini---dan ngobrol sejenak.
"Sudah berapa lama Bapak tanam sorgum-sorgum ini?"